Intisari Kunci Kebenaran Syiah

PRAKATA PEMBUKA:
Orang – orang sudah seharusnya tahu jalan kebenaran.. entah nanti mau melaluinya atau tidak, yang terpenting adalah hujjah sudah ditegakkan!!!

Saya bukan syiah iran yang terlalu moderat dengan melarang orang – orang mengungkapkan sejarah kelam keluarga (ahlulbait) nabi SAW sepeninggal nabi SAW dengan alasan demi persatuan sunni-syiah. Saya juga bukan syiah londoni (rafidhah) yang terlalu radikal dengan menghina bahkan melaknat para sahabat dan istri nabi SAW. Saya berada di tengah – tengah diantara keduanya itu, yakni boleh saja bahkan justru bagus membongkar sejarah kelam keluarga nabi SAW sepeninggal nabi SAW, agar orang – orang islam tahu kepada siapa seharusnya mereka berpihak lalu menuju kepada hal yang lebih benar, dan itu harus dilakukan secara ahsan tanpa menghina apalagi melaknat para sahabat dan istri nabi SAW, sehingga dengan demikian diharapkan hal ini tidak sampai menciderai ukhuwwah islamiyyah sunni-syiah.

Jangan sampai dengan alasan demi persatuan malah membuat kita menutup – nutupi perihal penting tentang islam yang sebenarnya, sehingga bisa jadi itu akhirnya akan menjadi batu sandungan untuk kita di akhirat kelak, dimana orang – orang islam yang masih tidak mengetahuinya akan protes dan menuntut kita dihadapan Allah karena kita dinilai egois, kebenaran hanya dimakan sendiri, tidak pernah mau mendakwahkan kebenaran kepada mereka, sehingga membuat mereka merasa rugi besar di negeri akhirat karena ketika di dunia tidak mengetahui kebenaran itu. Begitu juga berkaitan tentang fiqh ibadah syiah yang setelah dikaji bagi saya lebih sesuai dengan al-Qur’an dan hadits, ini bukan bermaksud bahwa saya tidak mau menghargai khilafiyah, tapi ini sebagai pembanding kebenaran untuk anda. Semoga berkenan. [] ANH

Sekapur Sirih:

“Dan janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah pula) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.”  [QS al-Baqarah, Ayat 42]


DAFTAR ISI

BAB 1: PERBEDAAN MENDASAR ANTARA SUNNI DAN SYIAH

  1. Sekumpulan hadits shahih dan tentang 12 khalifah [Baca]
  2. Perbedaan siapa ahlulbait antara sunni dan syiah [Baca]

BAB 2: KISAH KELAM PUTERI NABI SAW FATIMAH AZ-ZAHRA AS

  1. Fatimah az-Zahra as dianiaya dengan keji oleh Umar! [Baca]
  2. Hak tanah Fadak Fatimah az-Zahra as dirampas oleh Abu Bakar! [Baca]
  3. Sengketa tanah Fadak, siapakah yang berdusta? [Baca]
  4. Misteri dibalik penguburan Fatimah az-Zahra as [Baca]

BAB 3: PELAJARAN BESAR DARI KISAH KELAM FATIMAH AZ-ZAHRA AS

  1. Apakah Fatimah az Zahra as mati jahiliyyah? [Baca]
  2. Ghadir khum hadits tentang kepemimpinan imam Ali as! [Baca]
  3. Bantahan – bantahan atas penentangan hadits Ghadir Khum [Baca]
  4. Riwayat – riwayat Penguat atas hadits Ghadir Khum [Baca]

BAB 4: KISAH KELAM KELUARGA NABI SAW YANG LAINNYA

  1. Imam Ali as dituduh sebagai pembunuh Utsman bin Affan [Baca]
  2. Pasca terbunuhnya imam Ali as [Baca]

BAB 5: FIQH IBADAH SYIAH LEBIH SESUAI AL-QUR’AN & HADITS

  1. Cara Adzan syiah lebih sesuai hadits [Baca]
  2. Cara wudhu syiah lebih sesuai al-Qur’an [Baca]
  3. Cara sholat syiah sama seperti para sahabat nabi SAW [Baca]
  4. Waktu berbuka puasa syiah lebih sesuai al-Qur’an dan sahabat [Baca]

INTISARI KUNCI KEBENARAN SYIAH:

Membuktikan kebenaran syiah dengan membongkar sejarah kelam keluarga nabi SAW sepeninggal nabi SAW

Penulis: Akbar Nur Hasan

1. PERBEDAAN MENDASAR ANTARA SUNNI DAN SYIAH
Barangkali anda belum tahu, maka saya beritahu terlebih dahulu secara singkat tentang perbedaan mendasar antara sunni/ahlussunnah dan syiah. Jika sunni menyatakan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah mewasiatkan siapa khalifah penggantinya, jadi setelah Rasulullah SAW tiada, estafet kekhalifahan jatuh ditangan para sahabat berdasarkan hasil mufakat atau voting (walau kenyataannya tidak semua begitu, toh Umar menjadi khalifah berdasarkan penunjukkan langsung dari Abu Bakar), sedangkan syiah menyatakan bahwa Rasulullah SAW telah mewasiatkan kekhalifahan dari ahlulbaitnya sendiri, jadi estafet kekhalifahan sudah dipersiapkannya bahkan dari awal hingga akhir yang semuanya berjumlah 12 khalifah/imam, dimulai dari imam Ali bin Abi Thalib as dan para keturunannya yang terpilih, khalifah terakhir adalah imam Mahdi as yang akan muncul di akhir zaman nanti bersama nabi Isa as untuk melawan dajjal.

1.1 Sekumpulan hadits shahih dan tentang 12 khalifah [Kembali]
Jika kalian tahu, tak kurang dari 270 hadits dari sumber ahlussunnah berisi tentang adanya 12 khalifah/imam sepeninggal Rasulullah SAW. Jumlah 12 yang sering diulang – ulang itu tentu saja bukan angka yang tidak ada maknanya, sehingga jika mengabaikan angka 12 itu, maka bisa jadi dianggap mengabaikan risalah islam yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Berikut ini sebagiannya:

جَابِرَ بْنَ سَمُرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «يَكُونُ اثْنَا عَشَرَ أَمِيرًا»، فَقَالَ كَلِمَةً لَمْ أَسْمَعْهَا، فَقَالَ أَبِي: إِنَّهُ قَالَ: «كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ

“Jabir bin Samurah berkata: ‘Aku mendengar Nabi SAW bersabda: ‘Akan ada dua belas pemimpin’. Lalu beliau mengucapkan kalimat yang kami tidak dengar. Maka ayahku berkata: ‘Semua dari Quraisy.’” [Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, No 7222; Vol 4, Hal 168; Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, No 3393, 3394, 3395, 3396, 3397; Imam at-Tirmidzi, Sunan at-Turmudzi, Kitab al-Fitan, No 2149; Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Mahdi, No 3731, 3732; Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Musnad al-Basyiryin, No 19875, 19901, 19920, 19963, 20017, 20019, 20032, 20125]

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: دَخَلْتُ مَعَ أَبِي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: «إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ لَا يَنْقَضِي حَتَّى يَمْضِيَ فِيهِمِ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً»، قَالَ: ثُمَّ تَكَلَّمَ بِكَلَامٍ خَفِيَ عَلَيَّ، قَالَ: فَقُلْتُ لِأَبِي: مَا قَالَ؟ قَالَ: «كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ

“Dari Jabir bin Samurah berkata: ‘Aku dan ayahku menemui Rasulullah SAW, lalu mendengar beliau bersabda: ‘Sungguh perkara (kepemimpinan agama) ini tidak akan runtuh sampai datang dua belas pemimpin!’. Lalu beliau mengucapkan kalimat yang kurang kedengaran bagiku. Aku bertanya kepada ayahku: ‘Apa kata beliau?’ Ayah menjawab: ‘Semua dari Quraisy!’” [Imam Muslim, Shahih Muslim, No 1821]

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَكُونُ مِنْ بَعْدِي اثْنَا عَشَرَ أَمِيرًا، قَالَ: ثُمَّ تَكَلَّمَ بِشَيْءٍ لَمْ أَفْهَمْهُ فَسَأَلْتُ الَّذِي يَلِينِي، فَقَالَ: قَالَ: كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ.

“Dari Jabir bin Samurah berkata: ‘Rasulullah Saw bersabda: ‘Akan ada dua belas pemimpin sepeninggalku’. Lalu beliau mengucapkan sesuatu yang tidak aku pahami. Maka aku bertanya pada orang yang di belakangku. Ia menjawab: ‘Semua dari Quraisy.’” [Imam at-Tirmidzi, Shahih at-Tirmidzi, No 2223; Vol 2, Hal 45, No 2149; Imam Abu Dawud, Shahih Abu Daud, Kitab al-Manaqib, Vol 2, No 3731, Hal 207]

“Rasulullah SAW bersabda: ‘Agama ini akan tetap berdiri sampai 12 khalifah, yang semuanya dari golongan Qurays memerintah atas kamu.’.” [Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, Vol 6, No 3398, Hal 4 (Syarh imam Nawawi)]

“Rasulullah SAW bersabda: ‘Terdapat dua belas khalifah untuk umat ini’.” [Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Vol 5, Hal 106, Matba’a Miymaniyyah, Mesir 1313; Musnad al-Basriyyin, No 19944]

“‘Agama ini akan tetap agung sampai datang dua belas Imam.’ Mendengar hal ini orang – orang yang mengagungkan Allah berkata: ‘Allahu Akbar!’ dan menangis keras. Kemudian beliau mengatakan sesuatu dengan suara yang pelan. Aku bertanya pada ayahku: ‘Apa yang beliau katakan?’ ‘Mereka semua dari golongan Qurays’, jawabnya.” [Imam Abu Dawud, Shahih Abu Daud, Vol 2, No 1334, Hal 309, Edisi pertama dari Darr al-Fikr]

Jika anda bertanya tentang: “semuanya dari suku qurays”, maka tentu saja ahlulbait nabi SAW adalah dari suku qurays, sehingga merekalah yang dimaksud.

Terkait 12 imam itu, pihak ahlussunnah merasa kebingungan dan banyak terjadi perbedaan terkait siapa saja diantara mereka. Dalam kitab al-Hawi lil Fatawa, as-Suyuthi mengatakan: “Sampai sekarang, belum ada kesepakatan dari umat Islam mengenai setiap pribadi dua belas imam”. Berbeda halnya dengan syiah imamiyah yang sudah secara jelas menegaskan siapa saja ke 12 imam itu.

Tak kalah menghebohkan, jika para tokoh ulama besar ahlussunnah merasa kebingungan dengan siapa saja 12 khalifah/imam itu, berbeda halnya dengan tokoh ulama besar ahlussunnah, yaitu Syaikh Sulayman al-Qunduzi al-Hanafi, dalam kitabnya Yanabi’ul Mawaddah, beliau secara gambling menyebutkan siapa saja 12 imam itu! Beliau meriwayatkan:

77

(Screenshoot Kitab Yanabi’ul Mawaddah, Jilid 3, Hal 553-554)

“Sahabat Jabir bin Abdullah al-Anshari berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam bersabda: ‘Wahai Jabir, sesungguhnya para washiku dan para imam setelahku yang pertama adalah Ali, kemudian Hasan, kemudian Husain, kemudian Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin Ali al-Baqir. Engkau akan menemuinya wahai Jabir sekiranya engkau mendapatinya, maka sampaikanlah salamku kepadanya. Kemudian Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali. Kemudian al-Qa’im (imam Mahdi), namanya sama dengan namaku dan kunyahnya sama dengan kunyahku, putra Hasan bin Ali. Itulah orang yang di tangannya Allah tabaraka wa ta’ala akan menaklukkan Dunia Timur dan Barat. Itulah orang yang disembunyikan dari para pengikut dan pecintanya. Pada masa itu, tidak ada orang yang akan tetap konsisten dalam beriman kepada imamahnya kecuali orang-orang yang hati mereka telah diuji oleh Allah dengan keimanan.’.” [Syaikh Sulaiman al-Qunduzi al-Hanafi, Kitab Yanabi’ul Mawaddah, Jilid 3, Hal 553-554, Terbitan Mu’assasah al-A’lami lil Mathbu’at Beirut Libanon]

Selain itu ada juga dari Ulama ahlussunnah ahli hadits bermazhab Syafi’i, yakni Ibrahim al-Juwaini, beliau meriwayatkan:

52

(Screenshoot Kitab Fara’id as-Simthain, Juz 2, Hal 313)

“Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma yang berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam bersabda: ‘Aku, Ali, Hasan, Husain dan sembilan anak keturunan dari Husain adalah orang-orang yang suci dan maksum (terpelihara dari dosa).’” [Ibrahim al-Juwaini, Kitab Fara’id as-Simthain, Juz 2, Hal 313, Penerbit Darul Habib, Tahqiq al-Allamah Syaikh Muhammad Baqir al-Mahmudi]

Sangat mengherankan bukan?! Padahal mereka para ulama sunni/ahlussunnah lho.

1.2 Perbedaan siapa ahlulbait antara sunni dan syiah [Kembali]
Ahlulbait artinya keluarga. Dalam islam, istilah ahlulbait ini maknanya dilekatkan untuk merujuk kepada keluarga nabi muhammad SAW. Terdapat sejumlah perbedaan siapa saja yang dimaksud ahlulbait dari pemahaman sunni/ahlussunnah dan syiah. Jika di sunni, ahlulbait adalah para istri dan semua orang keturunan nabi Muhammad SAW, sehingga para habaib yang ada sampai dimasa sekarang termasuk ahlulbait, mereka semua tidaklah maksum. Sedangkan di syiah, ahlulbait hanyalah ditujukan khusus kepada segelintir orang terpilih dari keluarga nabi Muhammad SAW, setidaknya terbagi menjadi dua, yaitu ahlulkisa dan ithrah. Ahlulkisa terdiri dari imam Ali bin Abi Thalib as, Sayyidah Fatimah az-Zahra as, imam Hasan as, dan imam Husein as, kemudian itrah terdiri dari sembilan anak laki – laki dari keturunan imam Husein as, mereka semuanya maksum. Adapun para habaib yang ada dimasa sekarang, dalam pandangan syiah mereka bukanlah ahlulbait, tetapi hanya keturunan ahlulbait dan tidak maksum, namun demikian kami (pihak syiah) sangat menghormati mereka karena nasabnya yang mulia.

Kedudukan ahlulbait ini sangat penting karena adanya hadits shahih tsaqalain ini:

50

(Screenshoot Kitab Sunan at-Tirmidzi, Bab Manaqib Ahlul Bait Nabi SAW, Hal 855, Hadits No 3786)

“Jabir bin Abdullah meriwayatkan: ‘Aku melihat Rasulullah SAW dalam hajinya ketika di Arafah, sementara beliau berkhutbah di atas untanya (Qashwa) dan aku mendengar beliau bersabda: ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah – tengah kalian sesuatu (pusaka) yang jika kalian berpegang kepadanya, maka kalian tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah dan Itrah Ahli Baitku.’” [Imam Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Kitab Manaqib, Bab Manaqib Ahlul Bait Nabi SAW, Hal 855, Hadits No 3786, Tahqiq Nashiruddin al-Albani (hadits ini dishahihkan olehnya), Terbitan Maktabah al-Ma’arif – Riyadh; Shahih Muslim, Jilid 7, Hal 122; Sunan ad-Darimi, Jilid 2, Hal 432; Musnad Ahmad, Jilid 3, Hal 14, 17, 26, 59, Jilid 4, Hal 366, 371, Jilid 5, Hal 182; Mustadrak al-Hakim, Jilid 3, Hal 109, 148, 533]

Kita sebagai umat islam tentunya harus mengambil pelajaran dari hadits tsaqalain diatas. Jika di syiah tidak akan ada pro dan kontra, karena ahlulbait adalah sejumlah orang yang semuanya maksum, sehingga akan selalu selaras untuk memahaminya. Berbeda halnya dengan sunni yang menganggap semua keturunan nabi Muhammad SAW adalah ahlulbait dan mereka tidaklah maksum. Banyak pihak sunni yang dibuat bingung untuk memilih siapa ahlulbait yang harus diikutinya. Pihak sunni lebih condong untuk mengikuti para habaib dimasa sekarang, tapi masalahnya jumlah para habaib itu banyak, disamping mereka tidak maksum alias tidak luput dari salah, khilaf dan dosa, sehingga ada yang baik ada juga yang jahat, juga tentu saja mereka punya perbedaan watak dan pemikirannya masing – masing, belum lagi para habaib ada yang di sunni, ada yang di syiah, ada pula yang di salafi/wahabi, bahkan diluar muslimpun ada, ada yang pro dan kontra dengan pemerintah dan lain – lain, jadi di pihak sunni tidak akan ada jaminan kepastian bahwa ahlulbait yang diikutinya adalah yang paling benar, kecuali itu hanya sebatas asumsi atau klaim belaka.

Selain perintah untuk mengikuti hadits tsaqalain diatas, banyak juga hadits – hadits baik di sunni dan syiah tentang ancaman benci kepada ahlulbait. Orang – orang yang membenci ahlulbait, dalam banyak hadits mereka disebut munafik, anak hasil zina, ahli neraka dan lain – lain. Pihak sunni karena menganggap habaib adalah ahlulbait, maka tak sedikit orang jika berkonflik dengan para habaib, mereka akan dicap munafik, anak hasil zina dan ahli neraka. Hal seperti ini terjadi seperti yang dilakukan oleh para habaib dari sebuah ormas islam untuk membungkam para lawan yang berbeda pandangan politik dengannya, mereka dengan gencar dan massiv menyebarluaskan hadits – hadits tersebut di banyak media sosial, sehingga hasilnya banyak orang – orang yang bersebrangan dengan mereka terutama yang agamis, alim dan sholeh menjadi ketakutan untuk melawan.

Terakhir, terdapat polemik apakah para istri nabi SAW termasuk ahlulbait? Jika di sunni menyatakan bahwa para istri nabi SAW termasuk ahlulbait, sedangkan di syiah tidak. Namun jika kita mau mengkaji, ternyata hadits yang lebih kuat di sunni adalah yang menyatakan bahwa para istri nabi SAW bukanlah ahlulbait! Di bawah ini saya akan buktikan hadits – hadits shahih tersebut untuk dipikirkan.

17

(Screenshoot Kitab Syarh Musykil al-Atsar, Jilid 2, Hal 236, No 762)

“Dengan sanad shahih sampai kepada Ummu Salamah yang berkata: ‘Ayat ini turun untuk Rasulullah SAW, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain, yaitu (ayat): ‘Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlulbait dan menyucikanmu sesuci-sucinya! (QS al-Ahzab, Ayat 33)’” [Abi Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Thahawi, Kitab Syarh Musykil al-Atsar, Jilid 2, Hal 236, No 762, Tahqiq Syu’aib al-Arnauth, cet. 1, Muassasah al-Risalah – Beirut 1415 H/1994 M]

32

(Screenshoot Kitab Sunan At-Tirmidzi, Bab Manaqib Ahlulbait nabi SAW, Hal 855, No 3787)

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaiman al-Ashbahani dari Yahya bin Ubaid dari Atha bin Abu Rabah dari Umar bin Abu Salamah anak tiri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dia berkata: ‘Ayat ini: ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.’ (QS al-Ahzab, Ayat 33) turun atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam rumah Ummu Salamah, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Fatimah, Hasan dan Husain, lalu beliau menyelimuti mereka dengan kain, sedangkan Ali berada di belakang beliau lalu beliau juga menyelimutinya dengan kain. Kemudian beliau berdoa: ‘Ya Allah, mereka semua adalah Ahlibaitku, maka hilangkanlah dosa dari diri mereka dan sucikanlah mereka sebersih-bersihnya.’ Ummu Salamah (istri Nabi) berkata: ‘Saya juga bersama mereka wahai Nabi Allah?’ Beliau bersabda: ‘Kamu tetap berada di posisimu, dan akan tetap mendapatkan suatu kebaikan.’” [Imam at-Tirmidzi, Kitab Sunan At-Tirmidzi, Bab Manaqib Ahlul Bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, Hal 855, Hadits No 3787. Dishahihkan oleh Al-Albani]

2. KISAH KELAM PUTERI NABI SAW FATIMAH AZ-ZAHRA AS.

Sungguh menyedihkan, kisah kelam penganiayaan dan penindasan sayyidah Fatimah az-Zahra as ini telah disembunyikan dari publik baik oleh pihak sunni maupun syiah. Jika dari pihak sunni sengaja menyembunyikannya untuk mempertahankan kedudukan bahwa semua sahabat adalah adil, sedangkan jika dari pihak syiah, khususnya syiah yang condong ke Iran, mereka sengaja menyembunyikannya demi terjalinnya ukhuwwah islamiyyah antara sunni dan syiah. Alasan dari pihak sunni ini jika mau dipikirkan, justru upaya untuk membodohi umat, karena sepahit apapun sejarah wajib diungkapkan sebagai pembelajaran berharga, terlebih ini soal agama! Tapi lebih bodoh lagi alasan dari pihak syiah, dimana mereka mengaku sebagai pecinta ahlulbait nabi SAW, khususnya dalam hal ini adalah Fatimah as, kenapa demikian? Fatimah as ketika akan menemui ajalnya ia berwasiat kepada imam Ali as suaminya untuk dibuatkan 9 makam palsu dirinya dengan tujuan agar umat islam dimasa depan tahu bahwa ada sesuatu misteri yang menimpa dirinya untuk dipelajari. Jadi karena syiah Iran ini menyeru untuk tidak menceritakannya kehadapan publik, bukankah ini bertolak belakang dengan keinginan Fatimah as?! Saya tahu ini kisah yang vulgar, tapi bukan berarti tidak boleh diceritakan kepada publik sama sekali, justru ini demi kebaikan, tapi harus berhati – hati dalam menceritakannya, seperti jangan diceritakan secara langsung dalam kajian umum, karena akan membuat kaget jama’ah sehingga rentan terjadi gesekan yang sangat parah, kalau secara langsung ke publik harus secara tertutup, jika secara terbuka, bisa dalam sesi debat sunni syiah, nah diskusi ini bisa dijadikan momentum untuk menjelaskan semuanya, atau bisa juga melalui tulisan seperti yang saya lakukan ini. Dengan semua hal ini, saya pikir justru dapat lebih membuat terjalinnya ukhuwwah islamiyyah antara sunni dan syiah lebih baik lagi, dimana pihak sunni yang telah paham dan mau menerima kebenaran, mereka akan berhenti menuduh pihak syiah telah menyebar berita fitnah dan dusta terkait sayyidah Fatimah as ini.

2.1 Fatimah az-Zahra as dianiaya dengan keji oleh Umar! [Kembali]
Tahukah anda bahwa putri kandung nabi SAW yakni sayyidah Fatimah az-Zahra as telah meninggal dunia karena dianiaya?! Pada tragedi menyayat hati yang dinamakan peristiwa saqifah itu, hanya karena Fatimah as dan suaminya imam Ali bin Abi Thalib as enggan berba’iat kepada Abu Bakar yang ingin menjadi khalifah, Umar diatas perintah Abu Bakar lantas dengan teganya berani mengepung rumah Fatimah as dengan membawa serta 300 orang, Umar membakar pintu rumahnya, lalu memasukinya dan menganiaya Fatimah as dengan sangat keji, sejumlah literatur yang pernah saya baca menyebutkan bahwa pipinya Fatimah as ditampar, badannya dicambuk, dadanya ditusuk paku, perutnya dihimpit, dipukul dan ditendang, hingga membuat janinnya yang diberi nama Muhsin keguguran, dan dari penganiayaan itu menyebabkan tulang rusuk beliau as patah, sehingga setelahnya beliau as lebih banyak terbaring sambil merintih kesakitan akibat tulang rusuknya yang patah itu dikamar tidur selama 3 bulan lamanya (ada yang menyebut 6 bulan) dan akhirnya meninggal dunia!

Peristiwa penganiayaan sayyidah Fatimah az-Zahra as tersebut tidak hanya tercantum dalam riwayat – riwayat syiah, tapi juga dalam riwayat – riwayat ahlussunnah/sunni, tapi sayangnya dari sebagian pihak sunni yang kebanyakan dari pihak salafi wahabi, mereka berani berdusta untuk menutupi kebenaran dengan menyatakan bahwa sejarah kelam tersebut hanayalah karangan syiah?! Untuk itu mari kita buktikan!!!

Jika mau dicari tahu, ternyata terdapat banyak sekali dalam riwayat – riwayat sunni yang menceritakan penganiayaan yang dialami sayyidah Fatimah az-Zahra as, sejumlah diantaranya akan saya paparkan, dan sisanya karena terlalu banyak maka hanya saya sebut referensinya saja, jadi jika anda ingin membaca paparan yang lebih lengkap dari sini, maka silahkan cari dari referensi yang saya sebutkan. Berikut ini sejumlah paparan dari riwayat sunni/ahlussunnah:

96

(Screenshoot Kitab al-Imamah wa al-Siyasah, Hal 21 dan 22)

“Abu bakar mencari orang – orang yang tidak mau membai’atnya yang mana mereka ada di rumah Ali, maka ia mengutus Umar. Umar datang dan memanggil mereka, namun mereka enggan menjawab panggilannya. Lalu Umar meminta dibawakannya kayu bakar dan berkata: ‘(demi) Tuhan yang nyawa Umar ada ditangan-Nya, hendaknya kalian keluar atau akan aku bakar rumah ini beserta orang – orang yang ada didalamnya’, lalu ia diberitahu: ‘Wahai ayah hafshah (Umar bin Khaththab), didalamnya ada Fatimah’, kemudian Umar menjawab: ‘Meskipun ada Fatimah!’. ..Kemudian Umar bangkit berjalan dengan sekumpulan orang hingga mereka tiba di rumah Fatimah lalu mengetuk pintu. Ketika mendengar suara mereka, Fatimah dengan suara kencang berteriak: ‘Duhai ayahku, wahai Rasulullah, lihatlah apa yang dilakukan oleh ibnu khaththab (Umar) dan ibnu abi Quhafah (Abu Bakar) setelah kepergianmu!’, saat orang – orang mendengar teriakan dan tangisannya, mereka membubarkan diri dalam keadaan menangis dengan hati yang hancur, namun Umar tetap disitu dengan beberapa orang lainnya, kemudian mereka mengeluarkan Ali dan membawanya menghadap Abu Bakar, sesampai disana mereka mereka berkata kepada Ali: ‘Berbai’atlah!’, Ali bertanya: ‘Jika aku tidak melakukannya lalu apa (yang terjadi)?’, mereka menjawab: ‘Maka demi Allah yang tiada Tuhan selan Dia, kami akan memenggal kepalamu!’.” [Imam ibnu Qutaibah (370 H), Kitab al-Imamah wa al-Siyasah, Hal 21 dan 22, Cetakan Maktabah al-Nil, Mesir]

2

(Screenshoot Kitab al-Aqd al-Farid, Vol 5, Hal 13)

“Umar bin khaththab membawa api untuk membakar rumah Fatimah az-Zahra as. Fatimah bertanya: ‘Wahai putra Khaththab, engkau ingin membakar rumahku?’ Umar menjawab: ‘Ya’.” [Ahmad bin Muhammad bin Abdurrobbih, Kitab al-Aqd al-Farid, Vol 5, Hal 13, Penerbit Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, Saudi Arabia, Tahun 1404 H/1983 M]

97

(Screenshoot Kitab Tarikh ath-Thabari, Jilid 3, Bagian tahun 11 Hijriah, Hal 202)

“Umar bin Khaththab mendatangi rumah Ali dan didalamnya ada Thalhah, Zubair dan beberapa orang muhajirin, lalu ia berkata: ‘Demi Allah, aku akan bakar kalian atau kalian keluar untuk berbai’at!’.” [Imam ath-Thabari (310 H), Kitab Tarikh ath-Thabari, Jilid 3, Bagian tahun 11 Hijriah, Hal 202]

98

(Screenshoot Kitab al-Milal wa al-Nihal, Hal 51)

“Sesungguhnya Umar memukul perut Fatimah di hari bai’at, sehingga Muhsin yang ada didalam kandungannya keguguran. Dan berkali – kali ia (Umar) meneriakkan: ‘Bakar rumah itu bersama orang – orang yang ada didalamnya!’, sedang yang ada di rumah itu tak ada siapapun kecuali Ali, Fatimah, Hasan dan Husein.” [Imam Syahrastani (548 H), Kitab al-Milal wa al-Nihal, Hal 51, Cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon]

Bahkan tokoh ulama besar rujukan salafi wahabi, yakni imam adz-Dazahabi, ia tidak mau ketinggalan juga untuk meriwayatkan hal tersebut, mungkin karena saking emosinya serta ada rasa cinta dan iba kepada sayyidah Fatimah as, sehingga imam adz-Dzahabi yang dalam sebuah kitabnya pernah memerintahkan orang – orang untuk tidak menceritakan perselisihan antar para sahabat, kali ini beliau mau menceritakan penganiayaan terhadapnya. Beliau berkata:

99

(Screenshoot Kitab Mizan al-I’tidal, Jilid 1, Hal 139)

“Sesungguhnya Umar menendang Fatimah, sehingga Muhsin gugur dalam kandungannya.” [Imam adz-Dzahabi (748 H), Kitab Mizan al-I’tidal, Jilid 1, Hal 139, Cetakan Darul Ma’rifah, Beirut Libanon]

Masih banyak riwayat – riwayat ahlussunnah lainnya, untuk itu dibawah ini saya hanya paparkan isi riwayatnya saja tanpa screenshoot kitabnya agar lebih ringkas:
“Sesungguhnya, pada satu hari Abu Bakar mencari tahu siapa saja orang-orang yang menolak berbai’at kepadanya dan siapa saja orang-orang yang telah mendukung Ali berdiri di belakang Ali. Ia kemudian menyuruh Umar untuk mengejar orang-orang itu dan waktu itu mereka sudah berkumpul di rumah Ali. Ketika mereka hendak keluar dari rumah itu, Umar berteriak dengan keras: ‘Kumpulkanlah kayu bakar!’, Umar berteriak-teriak menyuruh para pengikutnya: ‘Aku bersumpah demi Dia yang Satu yang nyawa Umar ada di tanganNya! Keluarlah! Kalau tidak aku akan bakar rumah ini beserta orang-orang yang ada di dalamnya!’ Seseorang berseru: ‘Wahai Abu Hafs! Apakah kamu tidak tahu bahwa Fatimah ada di dalam rumah itu?’ Umar balas menghardik orang itu: ‘Bahkan walau Fatimah ada di dalamnya sekalipun!’.” [Ibn Qutaybah Dainuri (276 H), Kitab al-Imamah wa al-Siyasah, Vol 1, Hal 12, Bab “Cara Ali berbai’at”]

“Ali dan Abbas sedang duduk di dalam rumah Fatimah, Abu Bakar memberitahu Umar: ‘Bawalah mereka ke sini, apabila mereka menolak, bunuhlah mereka!’ Umar membawa api untuk membakar rumah itu. Fatimah bediri di balik pintu sambil berkata: ‘Wahai putera Khaththab, apakah engkau datang ke sini untuk membakarku dan anak – anakku?’ Umar menjawab: ‘Ya benar, demi Allah, hingga kalian keluar dan mau membai’at khalifah Rasulullah!’.” [Ahmad ibn Muhammad ibn Abd Rabbih (940 M), Kitab Iqd al-Farid, Bagian 3, Hal 63]

“Ketika Abu Bakar menderita sakit keras, penyakit yang akhirnya menggiringnya kepada kematian, Abdurrahman Ibn Auf datang menjengguknya dan bertanya kepadanya: ‘Wahai khalifah Rasulullah! Apa kabar gerangan tuan?’ Abu Bakar menjawab: ‘Tentu saja baik. Aku tidak pernah menyesalkan apapun yang kulakukan kecuali tiga hal dan aku berharap aku tidak pernah melakukannya. Tiga hal telah aku lakukan dan aku berharap tidak pernah melakukannya ialah: Aku berharap aku tidak tidak pernah memakai belenggu kekhalifahan ini! Aku berharap aku tidak pernah ikut menyerbu rumah Fatimah! Aku berharap aku tidak pernah menyerang para pengikutnya, bahkan meskipun mereka menyerangku terlebih dahulu dan menyatakan peperangan denganku!’.” [Ya’qubi, Kitab Tarikh al-Ya’qubi “Pemerintahan Abu Bakar”, Vol 2, Hal 137]

dari Salmah Ibn Muharib dari Sulayman al-Timi dari Ibn Aun yang mengatakan:
“Abu Bakar mengirimkan orang-orang untuk mengambil bai’at dari Ali yang menolak untuk patuh dan mengikuti mereka yang sudah berbai’at. Pada saat yang bersamaan, Umar sedang mengumpulkan kayu bakar untuk membakar rumah Ali. Fatimah berdiri di belakang pintu dan berkata kepada Umar: ‘Wahai putera Khattab! Aku melihatmu menyalakan api untuk membakar rumahku.’ Umar menjawab: ‘Betul. Dan aku tidak tergoyahkan sedikitpun dalam pendirianku sebagaimana ayahmu tidak tergoyahkan dalam agamanya!’.” [Ahmad Ibn Yahya (Baladhuri), Kitab Ansab al-Ashraf, Vol 1, Hal 586, Bab Saqifah Affair, no 1184]

Dari Abd al-Razaq, dari Muammar, dari Kalbi, dari Abu Saaleh, dari Ibn Abbas yang mengatakan:
“Bahwa Ali menolak untuk berbai’at kepada Abu Bakar dan memilih untuk tetap tinggal di rumahnya mengisolasi diri. Abu Bakar memerintahkan Umar untuk mendatangi Ali dengan sebuah perintah khusus: ‘Hadirkan Ali ke hadapanku seburuk apapun kondisinya.’ Ketika Umar datang kepada Ali segera terjadi pertengkaran yang sengit antara keduanya. Ali berkata: ‘Wahai Umar, bawalah setengah dari hartamu itu di pundakmu. Demi Allah, tidak akan engkau seserakah ini terhadap kekuasan dan kursi pemerintahan Abu Bakar kecuali karena esok lusa ia akan memberikannya kepadamu.’.” [Ahmad Ibn Yahya (Baladhuri), Kitab Ansab al-Ashraf, Vol 1, Hal 587]

“..Setelah itu, Abu Bakar memerintahkan Umar untuk menyeret Ali keluar, dan juga menyeret mereka yang ada di dalam rumah Fatimah. Abu Bakar berkata kepada Umar: ‘Apabila mereka menolak keluar, maka perangilah mereka!’ Pada saat yang sama, Umar pergi ke rumah Fatimah sambil membawa api untuk membakar rumahnya, ketika ia bertemu dengan Fatimah, Fatimah menyapanya: ‘Hendak kemana engkau wahai putera Khattab? Apakah engkau hendak membakar rumah kami?’ Umar menjawab dengan ketus: ‘Ya, benar. Aku hanya iba dan penuh belas kasihan apabila mereka yang ada di dalam rumahmu itu keluar dan mau berbai’at kepada Abu Bakar seperti yang dilakukan oleh umat!’.” [Ismail Imaddudin, Kitab al-Mukhtasar fi Akhbaar al-Bashar, Vol 1, Hal 156]

“Muhammad Ibn Ahmad Ibn Hammaad al-Kufi, seorang penghafal hadits dari kalangan Ahlussunnah mengatakan: ‘Tidak ada keraguan lagi sama sekali, Umar telah menendang Fatimah begitu kerasnya sehingga ia mengalami keguguran’.” [Imam adz-Dzahabi, Kitab Lisan al-Mizaan, Vol 1, Hal 268, No 824]

“Nazzam Mu’tazali memiliki pandangan yang kuat bahwa Tidak ada keraguan sama sekali bahwa Umar telah menendang Fatimah begitu kuatnya sehingga janin bayinya yang diberi nama Muhsin keguguran.” [Salahuddin Khalil Ibn Aibak Safdi (764 H), Kitab al-Waafi bil Wafayat, Vol 6, Hal 17]

“..Lalu Miqdad berdiri dan mengatakan: “putri Nabi hampir meninggal, darah mengalir di punggung dan rusuknya karena kalian mencambuknya dan memukulnya dengan pedang, sedangkan di mata kalian aku lebih hina dibanding Ali dan Fatimah.” [Imadudin At-Thabari, Kitab Kamil al-Baha’i, Jilid 1, Hal 312]

Tak hanya Umar, dalam sejumlah riwayat baik di sunni/ahlussunnah dan syiah menyebutkan bahwa terdapat para tokoh lain yang terlibat dalam penganiayaan Fatimah as, yakni; Qunfudz, Mughirah bin Syu’bah dan Khalid bin Walid, tapi sepengetahuan saya, Umarlah yang paling dominan disebutkan di riwayat sunni.

Saya ingin sedikit membahas tentang Khalid bin Walid yang katanya bergelar saifullaah/pedang Allah (padahal gelar tersebut disandang untuk imam Ali as). Abu Bakar dimasa menjadi khalifah pernah memerintahkan Khalid bin Walid untuk memaksa orang – orang membayar zakat. Khalid tiba di Buthah, orang-orang ketakutan berlarian dan tidak ingin melawan. Disaat itu sahabat besar nabi SAW yang bernama Malik bin Nuwairah keluar rumah ingin mengetahui apa yang sedang terjadi. Jika orang – orang muslim ahlussunnah pada umumnya menuduh bahwa Malik dibunuh karena murtad enggan membayar pajak, itu tidaklah benar! Justru yang benar beliau enggan menyerahkan zakat kepada Abu Bakar karena telah membangun badan amil zakat sendiri untuk dibagikan kepada masyarakatnya sendiri. Hal tersebut dilakukan karena wasiat Rasulullah SAW kepadanya yang jika beliau SAW sudah tiada, maka zakat diserahkan ke tangan imam Ali as sebagai khalifah kaum muslimin. Nah, ketika Khalid datang dan memaksa membayar zakat, Malik justru berusaha membujuk masyarakatnya, hingga akhirnya mereka mau memberikan zakat kepada Khalid atas himbauannya. Bukannya berterima kasih, Khalid malah membunuhnya karena bernafsu ingin menyetubuhi istrinya! Ini bukti riwayat sunni atas motif pembunuhannya Malik:
“Lalu Malik bin Nuwairah datang mengawasi Khalid. Dia datang bersama istrinya. Saat Khalid melihat istri Malik, dia langsung suka dan birahi. Khalid berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan memperoleh apa yang kamu miliki hingga aku membunuhmu!’“ [Al-Ya’qubi, Tarikh al-Ya’qubi, Jiid 2, Hal 131]

“Sesungguhnya Khalid bin Walid menuduh bahwa Malik bin Nuwairah telah murtad. Malik menolak tuduhan itu, ia berkata: ‘Saya Muslim. Saya tidak merubah dan mengganti agama!’. Abu Qatadah dan Abdullah bin Umarpun bersaksi bahwa Malik seorang Muslim. Kemudian Khalid memerintahkan Dhirar bin al-Azwar agar memenggal kepala Malik. Setelah itu Khalid menangkap istri Malik, Ummu Tamim dan mengawininya. (di malam itu juga tanpa menunggu masa iddah).” [Imam al-Muttaqi al-Hindi, Kitab Kanzul Ummal, 3/132]

Selain Khalid bin Walid yang pada kenyataannya tidak bergelar saifullaah/pedang Allah, ternyata dia juga tidak dianggap oleh Rasulullah SAW sebagai sahabatnya! Dikisahkan bahwa suatu ketika terjadi percekcokan antara Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin Auf. Percekcokan itu makin memanas hingga Khalid mulai mengejek dan hendak melakukan kekerasan, tapi Rasulullah SAW segera mengetahui hal tersebut lalu bersabda:

“Wahai Khalid, tinggalkanlah para sahabatku! Demi Allah, seandainya engkau memiliki emas sebesar gunung Uhud dan engkau pakai di jalan Allah, maka sedekahmu itu tidaklah sebanding dengan perjalanan sehari semalam dari orang yang berjuang di jalan Allah untuk mempertahankan Islam!” [Ibnu Hisham, Kitab Sirah Nabawiyyah, Jilid 2, Hal 421]

Peristiwa tersebut terjadi kira – kira 2 tahun setelah Khalid bin Walid memeluk Islam, tidak lama setelah perjanjian Hudaibiyah. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa ternyata tidak semua orang yang memeluk islam dan pernah bertemu dengan Rasulullah SAW dianggap sebagai para sahabatnya. Artinya dengan mengetahui hal ini maka pihak ahlussunnah seharusnya mau untuk mengkoreksi definisi dari istilah sahabat nabi SAW itu sendiri.

Kembali kepada pembahasan. Jika anda masih ragu dengan kebenaran kisah penganiayaan Fatimah as, maka ketahuilah bahwa tokoh salafi/wahabi, yakni Ibnu Taimiyah membenarkannya, tetapi dengan tuduhan yang keji! Ia berkata:

1

(Screenshoot Kitab Minhajul Sunnah, Vol 8, Hal 291)

“Abu Bakar menyerang rumah Fatimah as dan Ali as untuk memeriksa apakah ada sesuatu yang tersembunyi dari harta Allah sehingga dia dapat mengambil dan memberikan kepada orang-orang yang membutuhkan.” [Ibnu Taimiyah, Kitab Minhajul Sunnah, Vol 8, Hal 291]

Disini Ibnu Taimiyah menuduh bahwa Fatimah as dan Ali as mencuri dari Baitulmal. Allaahu Akbar, mungkinkah ahlulbait nabi SAW yang disucikan oleh Allah SWT dalam QS 33:33 dan bahkan diharamkan menerima uang shodaqoh tapi malah mencuri harta Allah dalam baitulmal?! Sungguh keji pikiran Ibnu Taimiyah dan orang – orang yang membenarkannya!

Selain itu, riwayat – riwayat ahlussunnah yang menceritakan tentang peristiwa penyerangan rumah Fatimah as masih banyak. Silahkan cari sendiri dibawah ini:

  1. Al-Amwal, Abu Ubaid Baghdadi, hal. 131 & 193.
  2. Al-Imamah was Siyasah, juz 1, hal. 12, 30 & 36.
  3. Tarikh Ya’qubi, juz 2, hal. 105, 137 & 213.
  4. Tarikh Thabari, juz 2, hal. 443.
  5. Tarikh Thabari, juz 3, hal. 202 & 430.
  6. Tarikh Thabari, juz 5, hal. 153.
  7. Al-Iqdul Farid, juz 2, hal. 250.
  8. Al-Iqdul Farid, juz 3, hal. 63, 230 & 231.
  9. Al-Iqdul Farid, juz 4, hal. 268.
  10. Muruj adz-Dzahab, juz 2, hal. 24.
  11. Muruj adz-Dzahab, juz 3, hal. 63 & 86.
  12. Mu’jam al-Kabir, Thabrani, juz 1, hal. 62.
  13. Saqifah, Jauhari, hal. 38, 40, 50, 51 & 73.
  14. Tarikh Madinah Dimasyq, Ibnu Asakir, juz 9, hal. 749.
  15. Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, juz 2, hal. 19, 21 & 46.
  16. Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, juz 6, hal. 48 & 51.
  17. Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, juz 14, hal. 193.
  18. Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, juz 17, hal. 146 & 168.
  19. Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, juz 20, hal. 24 & 147.
  20. Tarikh Islam, Dzahabi, juz 3, hal. 117 & 118.
  21. Mizanul I’tidal, juz 1, hal. 139.
  22. Mizanul I’tidal, juz 3, hal. 108.
  23. Majma’uz Zawa’id, juz 5, hal. 203.
  24. Lisanul Mizan, juz 1, hal. 268.
  25. Lisanul Mizan, juz 4, hal. 189.
  26. Lisanul Mizan, juz 5, hal. 218.
  27. Jam’ul Jawami’, Suyuthi, juz 1, hal. 1059.
  28. Kanzul Ummal, Muttaqi Hindi, juz 5, hal. 631, 632 & 651.
  29. Muntakhab Kanzul Ummal, juz 2, hal. 171 & 174.
  30. Muntakhab Kanzul Ummal, juz 5, hal. 108.
  31. Mukhtashar Tarikh Madinah Dimasyq, juz 13, hal. 122.
  32. Tarikh Abil Fida’, juz 1, hal. 156 & 165.
  33. Tarikh Ibnu Syahnah, juz 7, hal. 164.
  34. Ansabul Asyraf, juz 1, hal. 282, 404, 586, 587.
  35. A’lamun Nisa’, juz 3, hal. 147.
  36. A’lamun Nisa’, juz 4, hal. 114.
  37. Al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah, juz 14, hal. 857 & 568.
  38. Al-Isti’ab, juz 1, hal. 139.
  39. Al-Isti’ab, juz 2, hal. 254 & 255.
  40. Al-Wafi bil Wafayat, juz 3, hal. 344.
  41. Al-Wafi bil Wafayat, juz 6, hal. 17.
  42. Al-Wafi bil Wafayat, juz 17, hal. 311.
  43. As-Saqifah wal Khilafah, hal. 14.
  44. Al-Milal wan Nihal, juz 1, hal. 57.
  45. Al-Imamah wal Khilafah, hal. 160 & 161.
  46. Siyar A’lam an-Nubala, juz 15, hal. 578.
  47. Thabaqat Ibnu Sa’ad, juz 8, hal. 27 (Shadir), hal. 18 (Libanon).
  48. Yanabi’ul Mawaddah, juz 1, hal. 201 & 203.
  49. Maqtal Khawarizmi, hal. 54 & 83.
  50. Fatimah az-Zahra (sa), Abbas Mahmud Aqqad, hal. 29, 36 & 48.
  51. Fara’id as-Simthain, juz 1, hal. 34 & 36.
  52. Fara’id as-Simthain, juz 2, hal. 34, 35 & 36.
  53. Al-Farq bainal Firaq, Abu Manshur Baghdadi, hal. 147 & 148.
  54. Kifayatut Thalib, Kanji Syafi’i, hal. 413.
  55. Ash-Shirathul Mustaqim, Baladzuri, juz 3, hal. 12.
  56. Fushulul Muhimmah, Ibnu Sabbagh Maliki, hal. 135.
  57. Nuzhatul Majalis, Shafuri Syafi’i, juz 2, hal. 194.
  58. Al-Bada wat Tarikh, al-Muqaddasi, juz 5, hal. 20.
  59. Tadzkiratul Khawwash, hal. 54 & 322.
  60. Habibus Siyar, juz 1, hal. 436.
  61. Shifatush Shafwah, juz 2, hal. 5.
  62. Tajul ‘Urus, juz 12, hal. 127.
  63. Lisanul Arab, juz 4 hal. 393.
  64. Qamusul Muhith, Fairuzabadi, juz 2, hal. 79.
  65. Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, juz 3, hal. 165.
  66. Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 1, hal. 68.
  67. Sunan Baihaqi, juz 6, hal. 166.
  68. Sunan Baihaqi, juz 7, hal. 63.
  69. Usdul Ghabah, juz 2, hal. 18.
  70. Usdul Ghabah, juz 4, hal. 308.
  71. Nurul Abshar, hal. 47.
  72. Jamharah Ansabil Arab, hal. 16.
  73. Al-Aimmah Itsna Asyar, Ibnu Thulun Hanafi, hal. 58.
  74. Kamil, Ibnu Atsir, juz 3, hal. 397.
  75. Al-Bidayah wan Nihayah, juz 6, hal. 332.
  76. Al-Ishabah, juz 3, hal. 471.
  77. Sirah, Ibnu Ishaq, hal. 247.
  78. Dzakha’irul Uqba, hal. 117.
  79. Adz-Dzariyatut Thahirah, hal. 29 & 99.
  80. Jami’ul Ushul, Ibnu Atsir, juz 9, hal. 9.
  81. Adabul Mufrad, Bukhari, hal. 120.
  82. Qira’ah fi Kutub al-‘Aqa’id, Hasan bin Farhan al-Maliki, hal. 46.
  83. As-Sunnah, hal. 225.

Terdapat syubhat dimana orang – orang berkata: “jika peristiwa penganiayaan sayyidah Fatimah az-Zahra itu benar terjadi, lantas kenapa Ali sebagai suaminya hanya diam saja melihat istrinya dianiaya?”. Orang – orang itu pada sok tahu! Harusnya mereka mau mencari tahu dulu atau bertanya baik – baik, bukan asal menuduh! Ketika Fatimah as sedang dianiaya, imam Ali as memberontak dan menyergap, sebagaimana yang dipaparkan pada riwayat ini:
“Fatimah berteriak: ‘Wahai Ayahku, Wahai Rasulullah!’, lalu Umar mengangkat pedang yang masih di sarungnya dan memukul perut Fatimah, lalu Fatimah berteriak lagi: ‘wahai ayahku!’, lalu Umar mencambuk tangan Fatimah, Fatimah memanggil: ‘Wahai Rasulullah, betapa buruk penggantimu Abu bakar dan Umar!’, Ali melompat, mencengkeram baju Umar dan membantingnya, lalu memukul hidung serta lehernya Umar. Ali berniat membunuh Umar tapi teringat wasiat Rasulullah Shallallaahu Alaihi wasallam.” [Abu Shadiq as-Sulaim, Kitab Sulaim, Jilid 3, Hal 538]

Terdapat syubhat pula yang mengatakan: “mana mungkin peristiwa penganiayaan sayyidah Fatimah as oleh Umar itu benar – benar terjadi, sedangkan anak ke 4 imam Ali as dan Fatimah as yaitu Ummu Kultsum menikah dengan Umar?” Hal ini memang benar, tapi mari kita lihat tentang fakta pahit pernikahan mereka.

Perlu diketahui bahwa hal merupakan ini perkara khilafiyah dimana sebagian menyatakan bahwa pernikahan itu tidak pernah terjadi, sebagian lagi menyatakan pernikahan itu terjadi. Nah, untuk pendapat yang terakhir ini sungguh sangat mencengangkan, karena ternyata pernikahan tersebut terjadi dengan pemaksaan! Hal ini terdapat baik pada sumber sunni dan syiah.  Berikut ini sejumlah buktinya:

Umar melamar Ummu Kultsum dari (anaknya) Ali. Dalam menjawab lamaran tersebut, Ali berkata: ‘Ia masih kecil.’ Umar berkata: ‘Ia bukan anak kecil dan engkau tidak ingin memberikannya padaku. Jika demikian, kirimlah ia padaku hingga aku melihatnya.’ Ali mengirim Ummu Kultsum kepada Umar. Umar yang melihatnya berkata: ‘Katakanlah pada ayahmu: Bukanlah seperti yang engkau katakan!’” [Ibnu Sa’ad, Kitab Thabaqat al-Kubro, Jilid 8, Hal 463]

Ketika pertemuan tersebut terjadi, Umar keburu nafsu dengan menyentuh sarung kaki Ummu Kultsum dan melepaskannya.

Ummu Kultsum berkata: ‘Jika engkau bukan seorang khalifah, telah kubutakan matamu dan kupatahkan hidungmu!’ Ummu Kultsum pulang menemui ayahnya dan mengadukan perbuatan Umar seraya berkata: ‘Engkau telah mengutus aku pada seorang kakek bejat!’” [Ibnu Hajar al-Asqalani, Kitab al-Ishabah, Jilid 8, Hal 464; Imam adz-Dzahabi, Kitab Siyar A’lami an-Nubala, Jilid 3, Hal 501]

Mengenai perbuatan Umar tersebut, Sibt bin Jauzi berkata:

Demi Allah, perbuatan seperti ini adalah buruk, bahkan jika ia seorang budak wanita sekalipun! Umar tidak punya hak untuk melakukan hal tersebut karena menurut ijma kaum muslimin tidak boleh (haram) menyentuh wanita non mahram.” [Sibt bin Jauzi, Kitab Tadzkirah al-Khawash, Hal 321]

Pada sumber syiah, hal tersebut diceritakan lebih detail, dimana Umar ingin menikahi Ummu Kultsum dengan ancaman fitnah:

“Amirul Mukminin Ali as menolak lamaran Umar dan berkata padanya: ‘Ia hanyalah anak perempuan kecil.’ Umar pergi menemui Abbas bin Abdul Muthalib, paman Ali as, dan mengancamnya: ‘Demi Allah, aku akan menghancurkan sumur Zamzam dan aku tidak akan bermurah hati kepadamu serta akan kupanggil saksi bahwa Ali as pernah mencuri dan akan kupotong tangan kanannya!’ Abbas menceritakan hal tersebut kepada Ali as dan ia meminta menyerahkan perkara ini padanya dan Ali As pun mengabulkannya.’” [Al-Kualini, Kitab al-Kafi, Jilid 5, Hal 346]

Jika ada orang yang berkata bahwa imam Ali as pengecut karena tidak berani melawan pemaksaan Umar atas Ummu Kultsum, maka renungkanlah, ini bukan masalah pengecut atau tidak berani, melainkan jika tetap melawan, imam Ali as akan dituduh mencuri oleh Umar dengan membawa para saksi palsu dan dipotong tangannya, hal ini akan menjadi sejarah buruk pada umat islam, jadi pahamilah!

Pernikahan ini tidak dilakukan dengan kehendak dan keinginan Imam Ali as. Akan tetapi, itu terjadi setelah terjadi pelamaran yang berulang kali dan pemaksaan yang hampir berujung pada perkelahian.” [Alamul Huda, Kitab Rasail, Jilid 3, Hal 149]

Imam Ja’far Shadiq as berkenaan dengan pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar ditanya, dan beliau menjawab: “Ini adalah pernikahan pertama dalam Islam yang direbut!”. [Al-Kulaini, Kitab al-Kafi, Jilid 5, Hal 366]

Alhamdulillaah, walaupun pernikahan itu terjadi, tapi Umar keburu meninggal dunia sebelum mengawininya, karena Ummu Kultsum belum baligh:

“Terjadi akad nikah, tetapi Ummu Kultsum masih kecil. Umar bersabar hingga ia dewasa, namun sebelum bercampur dengannya Umar telah meninggal.” [Ibnu Syahrasyub, Kitab al-Manaqib, jilid 3, Hal 189]

Kemudian terakhir ada syubhat lagi, dimana pihak anti syiah menyatakan bahwa imam Ali as memberi nama anak – anaknya dengan nama yang sama atas ke 3 khalifah sebelumnya, yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman adalah sebagai ungkapan cinta kepada mereka. Jika mau dicari tahu, 3 nama tersebut tidaklah hanya ada pada para khalifah tersebut, akan tetapi banyak! Nama – nama tersebut adalah nama yang umum digunakan sehingga banyak sekali para sahabat yang mempunyai nama dan kunyah yang sama dengan mereka bertiga, seperti misalnya yang bernama Abu bakar, ada Abu bakar bin Abdullah al-Asadi, Abu bakar bin Qais al-Saluwli, Abu Bakar bin Sirin, Abu Bakr bin Hamam al-Hamiri dan lain – lain; yang bernama Umar, ada Umar bin Suraqah, Umar bin Hakim Salma, Umar bin Salim Khuzami, Umar bin Ikrima dan lain – lain; yang bernama Utsman, ada Utsman bin Hakim, Utsman bin Hunaif, Utsman bin Arqam, Utsman bin Rabia dan lain – lain. Jadi jelas hal yang dipaksakan mengklaim penamaan salah satu nama diatas sebagai bentuk kecintaan imam Ali as kepada ke 3 khalifah tersebut! Jika tetap mau dipaksakan, maka ketahuilah ada anak dari khalifah Umar bin khaththab yang bernama Abdullah, maka apakah dapat saya klaim bahwa Umar telah menamakan anaknya dengan nama salah satu pemimpin kaum munafik yang bernama Abdullah bin Abu salul sebagai bentuk kecintaan kepadanya?!

Nama anak imam Ali as yang bernama Abu bakar hanyalah nama kunyah saja, beliau bernama asli Muhammad al-Ashgar. Sedangkan anak beliau yang bernama Umar diambil dari nama salah satu sahabat yang syahid pada pertempuran jamal yaitu Umar bin Abu Salamah. Lalu anak beliau yang bernama Utsman diambil dari nama Utsman bin Mazh’un seperti pada pernyataannya sendiri dibawah ini:

إنما سميته بإسم أخي عثمان بن مظعون

“Aku menamakannya (Utsman) sebagai bentuk mengenang saudaraku Utsman bin Mazh’un.” [Abul faraj al-Isfahani, Kitab Maqatil ath-Thalibin, Hal 55]

2.2 Hak Tanah Fadak Fatimah az-Zahra as dirampas oleh Abu Bakar! [Kembali]
Tak hanya dianiaya, kedzaliman terhadap sayyidah Fatimah az-Zahra as pun ternyata masih terus berlanjut. Setelah Abu Bakar resmi menjadi khalifah, tanah fadak yang sudah pernah diberikan oleh Nabi SAW kepada Sayyidah Fatimah as sejak 3 tahun sebelum beliau SAW wafat, diambil paksa oleh Abu Bakar! Abu Bakar diawal pemerintahannya mengumumkan bahwa tanah Fadak bukan kepemilikan pribadi sehingga ia memutuskan telah disita oleh negara. Mengetahui hal tersebut Fatimah as marah besar, bahkan enggan berbicara lagi dengan Abu Bakar hingga akhir hayatnya. Banyak riwayat – riwayat ahlussunnah yang mencatatnya. Beberapa diantaranya akan kami paparkan dibawah ini.

104

(Screenshoot Shahih Bukhari, Kitab Fardhul Khums, Hal. 762, Hadits No 3092-3093)

“Aisyah menceritakan bahwa Fatimah puteri Rasulullah SAW meminta kepada Abu Bakar agar memberikan warisan Rasulullah SAW yang dibagikan kepadanya.
..Lalu Abu Bakar berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: ‘kami tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.’ Maka Fatimah marah dan menjauhi Abu Bakar. Marah dan kesalnya itu terus berlangsung hingga Fatimah wafat dan ia hanya hidup sampai enam bulan setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.’.” [Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab Fardhul Khums, Hal 762, Hadits No 3092-3093]

100

(Screenshoot Shahih Bukhari, Kitab al-Maghazi, Bab Ghazwatu Khaibar, Hal 1040 dan Shahih Muslim, Kitab al-Jihad wa al-Siyar, Bab Qaulin Nabi “La Naratsu Ma taraknah Fahuwa Shadaqah”, Hal 1131)

“Maka Abu Bakar abai untuk memberikan Fatimah apapun, Fatimahpun mendapati Abu Bakar bersikeras dalam kemauannya itu. Dan diriwayatkan Fatimah memutus hubungan dan enggan berbicara dengannya (Abu Bakar) sampai ia wafat, ia (hanya) hidup selama 6 bulan semenjak nabi SAW wafat. Ketika wafat, suaminya Ali bin Abi Thalib menguburkannya dan Abu Bakar tidak diberitahu.” [Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, Bab Ghazwatu Khaibar, Hal 1040, Cetakan pertama Daar Ibnu Katsir 1423 H/2002 M; imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Jihad wa al-Siyar, Bab Qaulin Nabi “La Naratsu Ma taraknah Fahuwa Shadaqah”, Hal 1131, Cetakan Baitul Afkar al-Dauliyyah, Riyadh Arab Saudi]

Terdapat pula di kitab shahih Bukhari yang lain:
“..Lalu Fatimah menjauhi dan tidak mau berbicara lagi dengannya (Abu Bakar) hingga dia wafat.” [Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Faraidh, Bab Qaulin Nabi “La Naratsu Ma tarakna Shadaqah”, Hal 1667, Cetakan pertama Daar Ibnu Katsir 1423 H/2002 M]

Begitupun oleh imam Baihaqi:

102

(Screenshoot Kitab al-Sunan al-Kubro, Jilid 6, Hal 489)

“..Lalu Fatimah marah dan tidak berbicara lagi dengannya (Abu Bakar) hingga ia wafat. Ia di shalati dan dikuburkan oleh Ali dan Abu Bakar tidak diberitahu.” [imam al-Baihaqi (458 H), Kitab al-Sunan al-Kubro, Jilid 6, Hal 489, Cetakan ketiga Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut Libanon 1424 H/2003 M]

Begitupun yang lainnya saya paparkan tanpa screenshoot kitab:
“Fatimah puteri Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk bertemu dengan Abu Bakar (ketika ia sudah menjadi khalifah). Fatimah mengutus seseorang untuk menanyakan warisan yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW yang berupa harta Fa’i (harta rampasan perang yang didapatkan tidak melalui peperangan) di Madinah berupa tanah Fadak, dan harta yang tersisa dari Khumus hasil dari harta rampasan perang Khaybar, akan tetapi Abu Bakar menolak untuk memberikannya kepada Fatimah. Ia akhirnya marah kepada Abu Bakar dan tidak mau bertemu dan bertegur sapa dengannya hingga akhirnya Fatimah meninggal dunia. Ia masih hidup selama 6 bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ketika ia meninggal, suaminya Ali menguburkannya pada malam hari tanpa memberitahu Abu Bakar sama sekali dan ia menyembahyangi jenazahnya sendiri.” [Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab “Perang Khaybar”, Jilid 5, Hadits No 546, Hal 381—383; Jilid 4, Hadits No 325]

Umar bin Khaththab berkata:
“Dan ketika Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar berkata: ‘Aku adalah walinya Rasulullah, lalu kalian berdua (Ali dan Abbas) datang menuntut warisanmu dari anak saudaramu dan yang ini menuntut bagian warisan istrinya dari ayahnya’. Maka Abu Bakar berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda: ‘Kami tidak diwarisi, apa- apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah.’, lalu kalian berdua memandangnya sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat. Demi Allah ia adalah seorang yang jujur, bakti, terbimbing dan mengikuti kebenaran. Kemudian Abu Bakar wafat dan aku berkata: ‘Akulah walinya Rasulullah SAW dan walinya Abu Bakar, lalu kalian berdua memandangku sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat!’.“ [Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Jihâd wa as Sair, Bab Hukm al Fai’, 5/152]

Jika anda masih ragu dengan kebenaran kisah perampasan tanah Fadak milik sayyidah Fatimah az-Zahra as, maka ketahuilah bahwa tokoh rujukan salafi wahabi sendiri, yakni Ibnu Taimiyah membenarkannya, tetapi lagi – lagi dengan tuduhan yang keji! Ia berkata:

40

(Screenshoot Kitab Minhajus Sunnah, Juz 5, Hal 522)

“Sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang imam yang bertindak tidak untuk dirinya sendiri tapi untuk muslim, dan tidak karena uang, ia tidak mengambilnya untuk dirinya sendiri tetapi untuk muslim, sementara Fatimah menuntut untuk dirinya sendiri.” [Ibnu Taimiyah, Kitab Minhajus Sunnah, Juz 5, Hal 522]

Jangan mengira bahwa tanah fadak itu hanyalah kebun kurma yang luasnya hanya sekian hektar saja, tidak! Pada masa kini Fadak adalah sebuah kota berkembang dengan nama al-Haith yang berada di wilayah Hijaz, jaraknya kira-kira 160 KM dari Madinah, pada tahun 1975 meliputi 21 kampung dan berdasarkan sensus pada tahun 2010 berpenduduk sekitar 14 ribu orang.

2.3 Sengketa tanah Fadak, siapakah yang berdusta? [Kembali]
Dengan membaca sejumlah Riwayat ahlussunnah diatas, kita bisa menyimpulkan;
Kesimpulan pertama, Fatimah as adalah seorang pendusta karena beliau as mengklaim dan meminta yang bukan haknya.
Kesimpulan kedua, Abu Bakar telah berlaku dzalim karena merebut tanah fadak yang menjadi warisan untuk Fatimah as.

Jadi cerita singkatnya, setelah Abu Bakar mensita tanah Fadak, Fatimah as berjuang untuk menuntut kembalinya hak tanah Fadak miliknya. Beliau as mengutus seseorang kepada Abu Bakar tapi ditolaknya, beliau as juga dengan masih dalam keadaan kesakitan bekas kejadian penganiayaan itu, terpaksa pergi menemui Abu Bakar, tapi ditolaknya juga. Abu Bakar menolak dengan alasan bahwa para nabi tidak mewariskan apapun selain sedekah. Fatimah as membantah keras menyatakan bahwa Abu Bakar telah berdusta atas nama Rasulullah SAW ayahnya. Beliau as membuktikan kedustaan Abu Bakar itu dengan ayat – ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa para nabi juga memiliki harta yang diwariskan dan anak – anaknya akan mewarisi dari mereka. Allah berfirman dalam al-Qur’an:

وَوَرِثَ سُلَيْمَٰنُ دَاوُۥدَ

“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud..” [QS an-Naml, Ayat 16]

وَاِنِّىۡ خِفۡتُ الۡمَوَالِىَ مِنۡ وَّرَآءِىۡ وَكَانَتِ امۡرَاَتِىۡ عَاقِرًا فَهَبۡ لِىۡ مِنۡ لَّدُنۡكَ وَلِيًّا ۙ‏
يَّرِثُنِيْ وَيَرِثُ مِنْ اٰلِ يَعْقُوْبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا

“Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, sedangkan istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra yang akan mewarisi aku dan mewarisi keluarga Ya`qub, dan jadikanlah ia ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” [QS Maryam, Ayat 5 dan 6]

Kedua ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa para nabi itu juga meninggalkan warisan. Fatimah as sendiri menggunakan ayat – ayat ini sebagai bukti akan haknya, Akan tetapi Abu Bakar tetap menolak klaim Fatimah as atas saran dari Umar bin Khaththab, sehingga keduanya jelas secara sengaja dan sadar telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ayat – ayat al-Qur’an tersebut.

Fakta – fakta sejarah dengan tegas membuktikan bahwa Rasulullah SAW sendiri bahkan telah memberikan tanah Fadak itu kepada Fatimah as. Tanah itu telah menjadi hak milik sah dari Fatimah as 3 tahun sebelum Rasulullah SAW wafat. Jadi tanah Fadak itu sendiri sebenarnya bukan bagian dari warisan yang diberikan oleh Rasulullah SAW karena sudah diberikan kepada Fatimah as ketika Rasulullah SAW masih hidup. Perampasan tanah Fadak oleh Abu Bakar dengan alasan bahwa Nabi SAW tidak pernah memberikan harta warisan kepada keturunannya pun jadi tidak ada dasarnya sama sekali.

Alasan mengapa Rasulullah SAW memberikan tanah Fadak itu kepada Fatimah as ketika Rasulullah SAW masih hidup ialah untuk memberikan sumber penghasilan bagi para pengikut Ahlulbait pada masa itu. Akan tetapi ketika Rasulullah SAW meninggal, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab membubarkan para pengelola tanah Fadak itu. Abu Bakar dan Umar kemudian merampas tanah Fadak itu serta properti lainnya milik dari anggota keluarga Ahlulbait. Mereka tahu bahwa jika harta kekayaan itu masih ada di tangan imam Ali as dan Fatimah as, maka dikhawatirkan bahwa mereka akan menggunakan harta itu untuk para pengikutnya dan ini hanya akan memperkuat kedudukan para pengikut Ahlulbait, sehingga akhirnya akan mengancam kedudukan Abu Bakar dan Umar. Menyadari hal tersebut, maka Abu Bakar dan Umar segera memutuskan sumber finansialnya ini.

Fatimah as mempermasalahkan tanah Fadak bukan karena ia gila harta dan tamak, bukan karena ia ingin kehidupan mewah bergelimang harta, tapi ingin mengambil yang memang sudah menjadi haknya yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk umat. Karena sepanjang hidupnya imam Ali as dan Fatimah as tetap hidup sederhana baik ketika Rasulullah SAW masih hidup bersama mereka maupun ketika Rasulullah SAW sudah pergi menghadap yang Kuasa. Al-Qur’an mengabadikan kehidupan mereka yang bersahaja dan mencintai kaum miskin:

وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا . إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَآءً وَلَا شُكُورًا

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” [QS al-Insan, Ayat 8 dan 9]

Ayat Al-Qur’an di atas diturunkan berkenaan dengan kejadian dimana keluarga Imam Ali as dan Fatimah as memberikan makanan mereka yang sebenarnya mereka akan makan untuk berbuka puasa. Hal luar biasa tersebut berulang hingga 3 hari lamanya. Keluarga suci itu tidak pernah mengeluh karena makanannya diberikan kepada orang lain.

Jika Fatimah as sebagai puteri Nabi SAW itu seorang pendusta, maka ia tidak layak mendapatkan kemuliaan seperti yang selama ini disabdakan oleh Nabi SAW atas perintah Allah seperti gelar penghulu wanita di surga, bahkan dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim hadits ke 4.819, Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa Fatimah as adalah wanita terbaik di dunia ini. Ulama besar Ahlussunnah, Imam as-Safiri asy-Syafi’i dalam kitab Syarah Shahih Bukharinya menuliskan:

44

(Screenshoot Kitab al-Majalis al-Wa’izhiyah fi Syarh Ahadits Khair al-Bariyah min Shahih al-Imam al-Bukhari, Juz 1, Hal 163)

“’Dan apakah Maryam (ibunda Nabi Isa as) yang lebih mulia ataukah Fatimah?’ Guru kami, Allamah Imam Jalaluddin as-Suyuthi berkata: ‘Belum pernah sekalipun (para alim ulama) menyinggung tentang masalah ini, namun yang kami yakini berdasarkan dari dalil-dalil yang ada, yaitu bahwa Fatimah adalah yang lebih mulia dibandingkan Maryam.”’ [Syamsuddin Muhammad bin Umar bin Ahmad as-Safiri asy-Syafi’i, Kitab al-Majalis al-Wa’izhiyah fi Syarh Ahadits Khair al-Bariyah min Shahih al-Imam al-Bukhari, Juz 1, Hal 163, Terbitan Darul Kutub al-Ilmiyah]

Bahkan lebih jauh, jika benar Fatimah as seorang pendusta, maka beliau as sangat tidak layak atas hadits ini:

34

(Screenshoot Shahih al-Bukhari, Kitab Fadhail Ashabin Nabi, Bab 29, Hal 924, Hadits No 3767)

“Telah bercerita kepada kami Abu al-Walid telah bercerita kepada kami Ibnu Uyainah dari Amru bin Dinar dari Ibnu Abu Mulaikah dari al-Miswar bin Makhramah radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Fathimah adalah bagian dari diriku. Barangsiapa yang menjadikannya marah berarti membangkitkan kemarahanku!’.” [Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab Fadhail Ashabin Nabi, Bab 29 Manaqib Fatimah alaihassalam, Hal 924, Hadits No 3767, Penerbit Dar Ibnu Katsir]

Mungkin sebagian orang akan membenturkan terkait hadits tentang Fatimah as diatas dengan gelar ash-Shiddiq yang katanya diberikan Rasulullah SAW kepada Abu Bakar. Maka perlu saya luruskan bahwa sesungguhnya gelar ash-shiddiq yang diberikan Rasulullah SAW itu diberikan untuk imam Ali bin Abi Thalib as, bukan untuk Abu Bakar! Ini buktinya:

81

(Screenshoot Kitab Tafsir ad-Durrul Mantsur, Juz 7, Hal 53)

“Imam Bukhari dalam Tarikhnya meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam bersabda: ‘Shiddiqun (orang-orang yang bergelar ash-Shiddiq) ada tiga: Pertama adalah Hizqil, orang yang beriman dari keluarga Fir’aun. Yang kedua adalah Habib an-Najjar, orang yang dimaksud dalam Surah Yasin ayat 20. Dan yang ketiga adalah Ali bin Abi Thalib.’.” [Imam as-Suyuthi, Kitab Tafsir ad-Durrul Mantsur, Juz 7, Hal 53, Terbitan Darul Fikr]

Selain itu, akan dibenturkan juga dengan pernyataan bahwa Abu Bakar adalah sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW, jika ada yang membantah lantas lebih mengutamakan Ali ketimbang Abu Bakar, maka dia adalah rafidhah, benarkah demikian? Ternyata tidak! Justru jika kita mau merujuk kepada riwayat ahlussunnah sendiri, maka akan didapati bahwa imam Ali as adalah laki-laki yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW.

36

(Screenshoot Kitab al-Mustadrak ala ash-Shahihain, Juz 3, Hal 168, Hadits No 4735)

“Telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad ad-Dauri, telah menceritakan kepada kami Syadzan al-Aswad bin Amir, telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Ziyad al-Ahmar, dari Abdullah bin Atha’, dari Abdullah bin Buraidah; Diriwayatkan dari ayahnya (Buraidah bin Hushaib al-Aslami) yang berkata: ‘Sesungguhnya wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam adalah Fatimah, adapun lelaki yang paling dicintai oleh beliau adalah Ali.’” [Imam Hakim an-Naisaburi, Kitab al-Mustadrak ala ash-Shahihain, Juz 3, Hal 168, Hadits No 4735, Tahqiq Adz-Dzahabi, Terbitan Darul Kutub al-Ilmiyah Beirut Libanon]

Imam Hakim berkata: “Hadits ini shahih isnadnya sesuai syarat Bukhari dan Muslim, namun mereka berdua tidak meriwayatkannya”. Adz-Dzahabi berkata dalam talkhisnya: “Shahih!”.

Aisyahpun tahu bahwa yang paling dicintai Rasulullah SAW adalah Ali, bukan ayahnya, Abu Bakar! Ini buktinya:

70

15

(Screenshoot Kitab al-Musnad, Juz 30, Hal 372-373, No 18421 & Jilid 14, Hal 169, No 18333)

“Abu Bakar meminta izin untuk masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia mendengar Aisyah berkata dengan suara keras dan lantang (di hadapan Rasulullah): ‘Demi Allah! Aku tahu bahwa Ali lebih anda cintai daripada bapakku.’ Aisyah mengatakannya dua atau tiga kali. Maka Abu Bakar pun minta izin dan masuk, lalu ia mendekati Aisyah seraya berkata: ‘Wahai binti Fulanah, kenapa aku mendengarmu mengangkat suara di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?’” [Ahmad bin Hanbal, Kitab al-Musnad, Juz 30, Hal 372-373, Hadits No 18421 (diakui keshahihannya oleh Ibnu Hajar Al Asqolani pada kitabnya Fathu al-Bâri, 14/158); Jilid 14, Hal 169, Hadits No 18333, Tahqiq Hamzah Ahmad Zain (Pada footnote berkata: “Sanadnya shahih”)]

Lalu ada syubhat lagi, bahwa Rasulullah SAW mencintai para sahabatnya berdasarkan urutan, yakni yang pertama Abu Bakar, kedua Umar, ketiga Utsman dan keempat Ali, itu semua tidak benar! Karena jikapun kita disuruh mencintai 4 sahabat, maka yang dimaksud bukanlah untuk Abu Bakar, Umar dan Utsman, melainkan untuk imam Ali as, Abu Dzar, Salman dan Miqdad. Ini riwayatnya:

16

(Screenshoot Kitab al-Musnad, Jilid 16, Hal 484, No 22864)

“Dengan sanad sampai kepada Ibn Buraidah dari ayahnya: Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mencintai empat orang dari sahabatku. (Allah) mengabarkanku bahwa Dia mencintai mereka dan memerintahkanku untuk mencintai mereka.’ Ditanyakan kepada Baginda SAW: ‘Siapa mereka wahai Rasulullah?’ Rasulullah SAW menjawab: ‘Ali diantara mereka, Abu Dzar Al-Ghifari, Salman al-Farisi dan Miqdad bin Aswad al-Kindi.’” [Ahmad bin bin Hanbal, al-Musnad, Jilid 16, Hal 484, No 22864, Tahqiq Hamzah Ahmad Zain (Muhaqqiq kitab berkomentar: “Sanadnya hasan”), Cetakan 1, Kairo: Dar al-Hadits, 1416 H/1995 M]

Hadits tersebut seharusnya berstatus shahih, karena Ibn Ma’in menilai Abu Rabi’ah tsiqah. Sedangkan jarh Abu Hatim terhadap Abu Rabi’ah tidak layak diterima karena dikenal berlebihan mencacatkan perawi. Oleh karena itu, jarh dari Abu Hatim jika ia menyendiri, maka tidak dijadikan hujjah.

Lalu yang terakhir ada sebuah hadits yang cukup terkenal:“Jika iman Abubakar ditimbang dengan iman seluruh ummat manusia, maka iman Abubakar lebih berat.”. Hadits tersebut ternyata ternyata berstatus munkar! Hadits ini disebut oleh Syeikh Mashhur bin Ḥasan al-Salman dalam kitab himpunan hadits – hadits lemah dan palsu beliau berjudul Silsilah al-Aḥadith al-Ḍa‘ifah wal-Mawḍu‘ah Mujarradah An al-Takhrij, di halaman 1935, hadits no 9705. Kitab ini adalah ringkasan dari kitab Silsilah al-Aḥadith al-Ḍa‘ifah wal-Mawḍu‘ah karya Syeikh Muḥammad Naṣiruddiin al-Albani (1420 H). Berikut adalah maklumat tentang hadits tersebut:

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله ﷺ: لو وُزِنَ إيمانُ أبي بكرٍ بإيمانِ أهلِ الأرضِ، لَرَجَحَ.
[عد، ابن عساكر، ((الضعيفة)) (6343)]

“Dari Ibnu Umar ra, beliau berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda: ‘Jika ditimbang iman Abu Bakar dengan iman penduduk bumi, maka iman Abu Bakar lebih berat.’” [Silsilah al-Da’ifah, No 6343]

Sumber: https://semakhadis.com/jika-ditimbang-iman-abu-bakar-dengan-iman-penduduk-bumi-sudah-pasti-iman-abu-bakar-lebih-berat/

Adapun yang benar untuk hal yang hampir serupa ini justru ditujukan kepada imam Ali bin Abi Thalib as:
“Umar berkata: ‘Ini adalah Ali bin Abi Thalib. Orang yang paling mengerti tentang Rasulullah SAW. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ;Andaikata 7 lapis langit diletakkan di satu sisi timbangan, dan iman Ali di sisi yang lain, maka iman Ali yang lebih berat’” [Ibnu Asakir, Kitab Tarikh Madinatu Dimasyq, 42/340-1]

Oh ya, ada juga riwayat menakjubkan untuk Umar, yaitu:
“Umar bin Khaththab adalah pelitanya penduduk surga, bahwa Umar menyinari penduduk surga seperti halnya pelita menerangi penduduk dunia. Manusia mengambil manfaat dari petunjuk Umar, sebagaimana penduduk dunia mengambil manfaat dari sinarnya lampu.”

Dalam riwayat Umar ini, al-Haitsami berkata:

“Di dalam sanadnya ada Ibrahim bin Abi Amr al-Ghiffari, dia adalah orang yang dhaif. Riwayat ini gharib, karena hanya al-Waqidi yang meriwayatkanya.” [Al-Hafidz Muhammad Abdurrauf, Kitab Faidh al-Qadir, 4/474]

Kembali ke pembahasan. Dari semua riwayat yang telah dipaparkan, maka semua bukti di atas menunjukkan bahwa orang – orang yang berakal sehat akan jatuh pada kesimpulan bahwa Abu Bakarlah yang telah berbuat dzalim kepada puteri nabi SAW, sayyidah Fatimah az-Zahra as!

2.4 Misteri dibalik penguburan Fatimah az-Zahra as [Kembali]
Beberapa bulan kemudian, sayyidah Fatimah az-Zahra as meninggal dunia. Fatimah as sebelum meninggal berwasiat kepada suaminya imam Ali as agar pengebumiannya kelak dilakukan secara sembunyi – sembunyi di malam hari dan makamnya dirahasiakan, maka untuk merealisasikan wasiatnya tersebut, ketika Fatimah as meninggal, imam Ali as membuat 9 lobang makam Fatimah as atau lebih untuk mengelabui orang – orang agar tidak diketahui dimana makam aslinya. Berikut ini saya paparkan beberapa riwayatnya dalam riwayat sunni/ahlusunnah:

53

(Screenshoot Kitab Tarikh Madinah ibn Shabbah. Jilid 1, Hal 189 – 190)

“Aisyah menceritakan: ‘Fatimah marah kepada Abu Bakar tentang hal itu (fadak) dan berhenti berbicara dengannya sampai ia meninggal. Ia hidup selama 6 bulan setelah meninggalnya Rasulullah SAW. Ketika ia meninggal, Ali as memakamkannya di malam hari dan tidak mengizinkan Abu Bakar untuk melayat di pemakamannya, dan Ali as berdoa padanya.’”  [Abu Zayd Umar Ibn Shabbah , Kitab Tarikh Madinah ibn Shabbah. Jilid 1, Hal 189 – 190]

وَعَاشَتْ بَعْدَ النبي صلى الله عليه وسلم سِتَّةَ أَشْهُرٍ فلما تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيٌّ لَيْلًا ولم يُؤْذِنْ بها أَبَا بَكْرٍ وَصَلَّى عليها.

“Dan beliau (Fatimah) hidup setelah wafatnya Rasulullah selama enam bulan, maka setelah (Fatimah) wafat, beliau dikebumikan di waktu malam oleh suaminya Ali bin Abi Talib dan tidak sekali-kali diizinkan Abu Bakar mensholati jenazahnya.” [Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid 4, Hal 1549, Cetakan ketiga Daar Ibnu Katsir 1407 H/1987 M]

ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺗُﻮُﻓِّﻴَﺖْ، ﺩَﻓَﻨَﻬَﺎ ﺯَﻭْﺟُﻬَﺎ ﻋَﻠِﻲٌّ ﻟَﻴْﻼً،ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺆْﺫِﻥْ ﺑِﻬَﺎ ﺃَﺑَﺎ‎ ‎ﺑَﻜْﺮٍ ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ .‏‎- ‎ﺻﺤﻴﺢ ﺑﺨﺎﺭﻯ، ﺝ ،5 ﺹ ،82 ﺡ ،4240 ﻛﺘﺎﺏ‎ ‎ﺍﻟﻤﻐﺎﺯﻯ، ﺏ ،38 ﺑﺎﺏ ﻏَﺰْﻭَﺓُ‏‎ ‎ﺧَﻴْﺒَﺮَ، ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ، ﺝ ،5 ﺹ ،154 ﺡ ،4470 ﻛﺘﺎﺏ‎ ‎ﺍﻟﺠﻬﺎﺩ ﻭﺍﻟﺴﻴﺮ )ﺍﻟﻤﻐﺎﺯﻯ (، ﺏ

– 16 ﺑﺎﺏ ﻗَﻮْﻝِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ » ﻻَ ﻧُﻮﺭَﺙُ‏‎ ‎ﻣَﺎ‎ ‎ﺗَﺮَﻛْﻨَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺻَﺪَﻗَﺔٌ» .

“Maka tatkala beliau (Fatimah as) wafat, suaminya Ali memandikannya di waktu malam, dan beliau tidak pernah mengizinkan Abu Bakar menyolati jenazahnya.” [Imam Bukhari, Kitab Shahih Bukhari, jilid 5, Hal 154]

عن بن جريج وعمرو بن دينار أن حسن بن محمد أخبره أن فاطمة بنت النبي صلى الله عليه وسلم دفنت بالليل قال فرَّ بِهَا علي من أبي بكر أن يصلي عليها كان بينهما شيء.
عبد الرزاق عن بن عيينة عن عمرو بن دينار عن حسن بن محمد مثله الا أنه قال اوصته بذلك

“Daripada Jarih dan Umru bin Dinar, sesungguhnya Hasan bin Muhammad memberi tahu bahawasanya Ali mengebumikan Fatimah binti Nabi (SAW) di waktu malam sehingga Abu Bakar tidak mensholatinya kerana antara mereka berdua ada peristiwa yang telah terjadi. ..Sesungguhnya dia (Fatimah) telah mewasiatkan hal yang demikian itu.” [Imam Abdurrazzaq ash-Shan’ani, Kitab al-Musannaf, Jilid 3, Hal 521, No 6555]

أجاز أكثر العلماء الدفن بالليل… ودفن علىُّ بن أبى طالب زوجته فاطمة ليلاً، فَرَّ بِهَا من أبى بكر أن يصلى عليها، كان بينهما شىء.
اكثر علما دفن جنازه را در شب اجازه داده‌اند. علي بن ابوطالب، همسرش فاطمه را شبانه دفن كرد تا ابوبكر به او نماز نخواند؛ چون بين آن دو اتفاقاتى افتاده بود.

“Mayoritas ulama membenarkan peristiwa pengebumian jenazah di waktu malam… dan Ali bin Abi Talib mengebumikan isterinya di waktu malam sehingga Abu Bakar tidak mensholatinya kerana antara kedua mereka ada peristiwa yang telah berlaku.” [Ibnu Bathal al-Bakri, al-Qurthubi, Syarah Sahih Bukhari, Jilid 3, Hal 325, Penerbit al-Rushd – Riyadh, Arab Saudi, Edisi Kedua 1423 H – 2003 M]

وأما إخفاء القبر، وكتمان الموت، وعدم الصلاة، وكل ما ذكره المرتضى فيه، فهو الذي يظهر ويقوي عندي، لأن الروايات به أكثر وأصح من غيرها، وكذلك القول في موجدتها وغضبها.

شرح نهج البلاغة، ج 16، ص 170.

Disembunyikan kematian dan tempat pengkebumian Fatimah, dan Abu Bakar serta Umar tidak dapat mensholatinya, semua yang dikatakan oleh Ali dapat saya terima kerana riwayat riwayat yang berkaitan dengannya sangat shahih. Demikian juga shahihnya kisah kemarahan Fatimah.[Ibnu Abil Hadid, Kitab Syarh Nahjul Balaghah, Jilid 16, Hal 170]

Setelah pengebumian Fatimah as, imam Ali as dikirim ke Abu Bakar dan berkata:

9x

(Screenshoot Shahih Bukhari, Kitab Maghazi, Hal 1040, No 4240)

“Jangan bawa Umar bersamamu disini, saya tidak suka kehadiran Umar!” [Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Maghazi, Hal 1040, No 4240]

Sungguh jika mau direnungkan wasiat sayyidah Fatimah az-Zahra as tersebut sangat luar biasa cerdas sebagai pelajaran berharga untuk umat islam dimasa depan agar mereka mau berpikir kritis tentang misteri dan kejadian yang menimpanya, sehingga dengan itu mereka mau mencari tahu dan akhirnya menemukan tentang kebenaran islam yang murni ini. Terbukti, banyak para sejarawan islam dari generasi ke generasi mempertanyakan peristiwa tersebut.

Jika ada orang yang masih menganggap dusta terhadap peristiwa pengebumian ini, maka perlu direnungkan, kenapa jasad Fatimah as tidak dikuburkan di sebelah makam ayahnya, Rasulullah SAW yang sangat dicintainya, namun mengapa Abu Bakar dan Umar yang wafat jauh setelah wafatnya Fatimah as justru bisa dimakamkan di samping Rasulullah SAW? Apakah mungkin Fatimah as sendiri yang meminta agar dia dimakamkan jauh dari ayahnya itu? Berbicara tentang makam dekat Rasulullah SAW, putra kandung Fatimah as, yakni Hasan bin Ali, pernah berwasiat saat meninggal nanti ingin dimakamkan di samping makam Rasulullah SAW, tahukah kalian apa yang terjadi? Wasiatnya tersebut tidak dapat terwujud karena penolakan dari Aisyah. Jenazah Hasan bin Ali yang merupakan ahlulbait nabi SAW, cucu kebanggaan Rasulullah SAW, ketika kerandanya dalam perjalanan menuju pusara Rasulullah SAW dihujani dengan panah dan tombak oleh Aisyah! Inipun harus menjadi pelajaran berharga bagi orang – orang yang mau berpikir untuk mencari kebenaran!

Terdapat syubhat bahwa wasiat sayyidah Fatimah as tersebut dimaksudkan agar tidak ada kaum laki – laki yang melihatnya. Saya heran dengan alasan tersebut, memangnya kenapa jika ada kaum laki – laki yang ikut mengiringi pemakaman jenazah wanita? Padahal hal tersebut sangat lumrah di masyarakat. Jika yang dipermasalahkan karena takut terlihat auratnya, maka ini mengada – ngada, karena jenazah yang sudah dibungkus kain kafan tidak akan terlihat sedikitpun auratnya! Lagipula ternyata terdapat sejumlah kaum laki – laki yang ikut mengiringi jenazah sayyidah Fatimah as, diantaranya ada Fadhl bin Abbas, Salman al-Farisi, Miqdad dan Abu dzar al-Ghifari. Sekalipun misal tidak adanya kaum laki – laki, maka tetap saja alasan tersebut tertolak karena jelas bertolak belakang dengan riwayat – riwayat shahih dari sumber ahlussunnah diatas!!!

3. PELAJARAN BESAR DARI KISAH KELAM FATIMAH AZ-ZAHRA AS

Inilah yang menjadi intisari kebenaran syiah, dimana hal kunci inilah yang menunjukkan bukti bahwa syiah adalah ajaran islam yang paling benar! Kita dihidupkan di dunia ini tujuan utamanya adalah untuk beribadah kepada-Nya, maka mencari hal yang paling benar dalam agama, lalu meyakini dan menyebarkannya adalah anugerah, hidayah dan karunia yang paling besar dan mulia disisi Allah. Oleh karena itu bukalah hati dan pikiran anda untuk mempelajarinya dengan baik dan benar demi kebaikan anda di akhirat kelak.

3.1 Apakah Fatimah az Zahra as mati jahiliyyah? [Kembali]
Dari riwayat – riwayat ahlussunnah diatas, maka perlu kita renungi hadits ini:

39

(Screenshoot Kitab Shahih Mawarid azh-Zhaman, Juz 2, Hal 79, Hadits No 1288)

“Barangsiapa yang mati tanpa memiliki imam, maka matinya dalam keadaan mati Jahiliyyah!” [Nashiruddin al-Albani, Kitab Shahih Mawarid azh-Zhaman, Juz 2, Hal 79, Hadits No 1288, Terbitan Dar ash-Shami’i; Ibn Abu Asim, Kitab al-Sunnah, hal 489 (al-Albani tentang hadits ini menulis: “sanadnya hasan dan semua perawinya Tsiqah”); Shahih Ibn Hibban, jilid 7, Hal 49]

Sekarang kita tahu bahwa sayyidah Fatimah az-Zahra as menolak membai’at Abu Bakar hingga akhir hayatnya, padahal Abu Bakar dimasa beliau as hidup sudah menjadi khalifah (imam zaman) resmi umat islam dimasa itu. Oleh karena itu dari hadits diatas, beranikah kita katakan bahwa Fatimah as mati dalam keadaan jahiliyyah?! Jelas tidak! Yakinlah bahwa Fatimah as sebagai ahlulbait nabi SAW pasti tahu siapa imam zamannya, sehingga beliau as dengan tegas dan keras pendirian menolak membai’at Abu Bakar, sampai – sampai nyawanya menjadi taruhannya! Bahkan tak hanya menolak, dalam shohih bukhari beliau meninggal dalam keadaan murka pada Abu Bakar! Menolak imam zaman saja sudah dicap mati jahiliyyah, apalagi murka kepadanya?! Maka renungkanlah, demi meraih kebenaran islam dan kebaikan besar di akhirat kelak!

3.2 Ghadir khum hadits tentang kepemimpinan imam Ali as! [Kembali]
Jika bukan Abu Bakar, lantas siapakah imam zaman Fatimah as? Beliau as tentu saja berpegang teguh dengan wasiat ayahnya, yakni Rasulullah SAW. Pada peristiwa Ghadir khum yang dihadiri tidak kurang dari 120.000 orang, Rasulullah SAW telah mengukuhkan bahwa pengganti imam/pemimpin/khalifah sepeninggalnya adalah Ali bin Abi Thalib as! Berikut ini sejumlah riwayat ahlussunnah/sunni terkait Ghadir khum, mohon untuk direnungi:

64

30

(Screenshoot Kitab al-Musnad, juz 14, Hal 185-186, No. 18391 & Juz 30, Hal 430, No 18479)

“Telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, telah mengabarkan kepada kami Ali bin Zaid dari Adi bin Tsabit dari Al-Bara’ bin Azib ia berkata: ‘Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan. Kemudian kami singgah di Ghadir Khum dan tak lama kemudian adzan shalat pun dikumandangkan. Sebagai tempat beliau, dibersihkanlah semak-semak yang berada di bawah dua batang pohon, baru kemudian beliau shalat Zhuhur. Setelah itu, beliau langsung memegang tangan Ali radhiyallahu ‘anhu seraya bertanya: ‘Bukankah kalian telah mengetahui bahwa diriku lebih berhak terhadap kaum mukminin atas diri mereka sendiri?’ Para sahabat menjawab: ‘Benar!’ Beliau bertanya lagi: ‘Bukankah kalian telah mengetahui bahwa saya lebih berhak terhadap setiap mukmin atas dirinya sendiri?’ Para sahabat menjawab: ‘Benar!’ Kemudian beliau memegang erat tangan Ali dan bersabda: ‘Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali juga merupakan pemimpin baginya. Ya Allah, tolonglah orang-orang yang menolongnya, dan musuhilah orang yang memusuhinya.’ ..Setelah itu, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Selamat bagimu wahai putra Abu Thalib (Ali), kamu telah menjadi pemimpinnya bagi setiap mukmin dan mukminah.’.” [Imam Ahmad bin Hanbal, Kitab al-Musnad, Juz 14, Hal 185-186, Hadits No 18391, Tahqiq Hamzah Ahmad Zain, Terbitan Darul Hadits Kairo, Mesir. Shahih; Imam Ahmad bin Hanbal, Kitab al-Musnad, Juz 30, Hal 430, Hadits No 18479, Terbitan Mu’assasah ar-Risalah, Muhaqqiq kitab (Syu’aib al-Arnauth menyatakan: “Hadits ini shahih li ghairihi”)]

Tak hanya umar, Abu Bakarpun waktu itu mengucapkan selamat kepada imam Ali as, dimana ketika Rasulullah SAW bersabda:
“’Barangsiapa yang mengakui aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya juga.’ Setelah itu Abu Bakar dan Umar berkata kepada Ali: ‘Anda kini, hai putra Abu Thalib, telah menjadi pemimpin setiap mukmin dan muminah!’. Ucapan Abu Bakar dan Umar ini dikatakan sebelum Ali dilantik jadi khalifah dan Nabi masih hidup.” [Imam Ahmad bin Hanbal, Kitab Al-Musnad, Jilid 4, Hal 281]

Tidak hanya di Ghadir Khum, di lain kesempatan, kerap kali Umar bin Khaththab mengeluarkan pernyataan yang menekankan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pemimpinnya dan pemimpin seluruh kaum mukminin. Hal ini ditunjukkan melalui sikap dan perlakuan istimewanya terhadap Ali yang disaksikan oleh sahabat lainnya. Ulama besar Ahlussunnah bermazhab Syafi’i, Syaikh al-Hafizh Ahmad bin Abdullah yang masyhur dikenal dengan Muhibbuddin ath-Thabari mengabadikan hal ini dalam kitabnya ar-Riyadh an-Nadhirah:

29

(Screenshoot Kitab Ar-Riyadh an-Nadhirah fi Manaqib al-Asyrah, Juz 1-4, Hal 128)

“Diriwayatkan dari Salim yang berkata bahwa ditanyakan kepada Umar: ‘Mengapa perlakuanmu (begitu istimewa) kepada Ali, berbeda dengan perlakuanmu terhadap sahabat – sahabat Nabi SAW yang lain?’ Umar menjawab: ‘Sesungguhnya dia (Ali) adalah maula-ku (pemimpinku)’.
Di waktu yang lain Umar pernah berkata: ‘Inilah (Ali) pemimpinku dan pemimpin seluruh kaum mukminin. Maka barangsiapa yang enggan berpemimpin (berwilayah) kepadanya, maka bukanlah ia termasuk orang mukmin!’”
[Muhibbuddin ath-Thabari, Kitab Ar-Riyadh an-Nadhirah fi Manaqib al-Asyrah, Juz 1-4, Hal 128, Terbitan Darul Kutub al-Ilmiyah]

Lihatlah Umar bin Khaththab pada saat itu mengucapkan selamat kepada imam Ali bin Abi Thalib as, bahkan dilain kesempatan selalu mengulangi pernyataan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pemimpinnya dan pemimpin seluruh kaum mukminin, namun sayangnya setelah Rasulullah SAW tiada, umar berbalik arah menolak kepemimpinan imam Ali as dengan mengatakan:
“Demi Allah, saya tahu bahwa Ali adalah yang paling pantas dari semua orang untuk menjadi khalifah. Karena tiga alasan maka kami singkirkan Ali. Pertama ia terlalu muda, kedua ia terikat dengan keturunan Abdul Muthalib dan ketiga orang tidak ingin kenabian dan kekhalifahan berkumpul dalam satu keluarga.” [Ibnu Abil Hadid. Syarh Nahj Al Balaghah. Hlm 134. Dar Al Kutub Al ‘Arabiyah. 1959. Lihat juga Tarikh Al Yakubi. Hlm 103-106; Tarikh Abil Fidai. Hlm 156-166 dan Murujudz Dzahab. Hlm 307 dan 352]

Pengkhianatan tersebut telah diprediksi sebelumnya oleh Rasulullah SAW, lalu memberitahukannya kepada Imam Ali as:

ﻗﻠﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻳﺒﻜﻴﻚ ﻗﺎﻝ ﺿﻐﺎﺋﻦ ﻓﻲ ﺻﺪﻭﺭ‎ ‎ﺃﻗﻮﺍﻡ ﻻ ﻳﺒﺪﻭﻧﻬﺎ ﻟﻚ ﺍﻻ‎ ‎ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻱ ﻗﺎﻝ ﻗﻠﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺳﻼﻣﺔ ﻣﻦ‎ ‎ﺩﻳﻨﻲ ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺳﻼﻣﺔ ﻣﻦ ﺩﻳﻨﻚ .‏‎ – ‎ﺍﻟﻤﻌﺠﻢ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ ، ﻃﺒﺮﺍﻧﻲ ، ﺝ، 11 ﺹ60 ﻭ ﺗﺎﺭﻳﺦ‎ ‎ﺑﻐﺪﺍﺩ ، ﺝ، 12 ﺹ394 ﻭ‎ ‎ﺗﺎﺭﻳﺦ ﻣﺪﻳﻨﺔ ﺩﻣﺸﻖ ، ﺝ، 42 ﺹ322 ﻭ ﻓﻀﺎﺋﻞ‎ ‎ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ، ﺍﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ، ﺝ، 2 ﺹ، ‏‎ ‎651ﺡ 1109 .

“Ali telah bertanya: ‘Wahai Rasulullah, mengapakah engkau menangis?’ Baginda bersabda: ‘Perseteruan dalam dada – dada terkurung, setelah kepergianku ia akan terbuka.’ Saya bertanya: ‘Apakah agamaku selamat?’ Baginda bersabda: ‘Agamamu selamat.’” [Imam ath-Thabrani, Kitab al-Mu’jam al-Kabir, Jilid 11, Hal 60]

حدثنا أبو حفص عمر بن أحمد الجمحي بمكة ثنا علي بن عبد العزيز ثنا عمرو بن عون ثنا هشيم عن إسماعيل بن سالم عن أبي إدريس الأودي عن علي رضى الله تعالى عنه قال إن مما عهد إلي النبي صلى الله عليه وسلم أن الأمة ستغدر بي بعده

“Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh Umar bin Ahmad al-Jumahi di Makkah, yang berkata telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdul Aziz, yang berkata telah menceritakan kepada kami Amru bin Aun, yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Ismail bin Salim, dari Abi Idris al-Awdi, dari Ali yang berkata: ‘Diantara yang diberitakan Nabi SAW kepadaku bahwa umat akan mengkhianatiku sepeninggal beliau.’” [Hakim al-Naisaburi, Kitab al-Mustadrak ala ash-Shahihain, Jilid 3, Hal 150, No 4676, dishahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi dalam at-Talkhis]

حدثنا يحيى بن غيلان ، عن أبي عوانة ، عن إسماعيل بن سالم ، وحدثنا فهد بن عوف ، قال ، ثنا أبو عوانة ، عن إسماعيل بن سالم ، عن أبي إدريس إبراهيم بن أبي حديد الأودي أن علي بن أبي طالب ، قال : عهد إلي النبي صلى الله عليه وسلم أن الأمة ستغدر بي من بعده

“Telah menceritakan kepada kami Abu Awanah, dari Ismail bin Salim, dari Abi Idris Ibrahim bin Abi Hadid Al Awdi bahwa Ali bin Abi Thalib berkata: ‘Telah dinyatakan oleh Nabi SAW bahwa umat akan mengkhianatiku sepeninggal beliau’” [Ad-Dulabi, Kitab al-Kuna Wal Asmaa, Jilid 2, Hal 442, No 441]

“..Ali bin Abi Thalib berkata: ‘Wahai Rasulullah, apa yang harus dilakukan apabila hal (pengkhianatan) itu terjadi?’ Rasulullah SAW bersabda: ‘Jika engkau mendapati pembantu – pembantu (a‘wanan), tentangilah mereka, tapi jika engkau tidak mendapati pembantu – pembantu, maka tahanlah tanganmu dan jagalah darah engkau sehingga engkau mendapati pembantu – pembantu untuk mendirikan agama, kitab Allah dan Sunnahku.’” [Al-Qunduzi al-Hanafi, Kitab Yanabi al-Mawaddah, Hal 135]

Setelah pengkhianatan tersebut terjadi, dimana Abu Bakar merebut kekhalifahan yang seharusnya ada di tangan imam Ali as, maka imam Ali as berusaha untuk mengumpulkan kekuatan dengan mencari dukungan dan meminta kepada umat dari rumah ke rumah untuk menjadi pembantunya, namun sebagian besar umat menolaknya. Maka atas perihal tersebut akhirnya imam Ali as berpasrah diri sesuai sabda Rasulullah SAW diatas.

Imam Ali as berkhotbah:

أَمَا وَاللهِ لَقَدْ تَقَمَّصَهَا إبْنُ اَبِيْ قُحَافَةَ وَإِنَّهُ لَيَعْلَمُ أَنَّ مَحَلِّي مِنْهَا مَحَلُّ اْلقُطْبِ مِنَ الْرُحَى , يَنْحَدِرُ عَنِّي اْلسَيْلُ وَ لاَ يَرْقَى إلَىَّ الْطَيْرُ. فَسَدَلْتُ دُوْنَهَا ثَوْبًا وَ طَوَيْتُ عَنْهَا كَشْحًا .وَ طَفِقْتُ أَرْتَئِ بَيْنَ أنْ أَصُوْلَ بِيَدٍ جَذَّاءَ أوْ أَصْبِرَ عَلَى طِخْيةٍ عَمْيَاءَ , يَهْرَمُ فِيْهَا الْكَبِيْرُ وَ يَشِيْبُ فِيْهَا الْصَغِيْرُ, وَ يَكْدَحُ فِيْهَا الْمُؤْمِنُ حَتَّى يَلْقَى رَبَّهُ!

فَرَاَيْتُ اَنَّ الْصَبْرَ عَلَى هَاتَا أَحْجَى . فَصَبَرْتُ , وَ فِي الْعَيْنِ قَذًى, وفِي الْحَلْقِ شَجًا أَرَى تُرَاثِيْنَهْبًا.

“Demi Allah, sesungguhnya putra Abu Quhafah (Abubakar) telah mengenakan busana kekhilafahan itu. Padahal ia tahu bahwa kedudukanku sehubungan dengan itu adalah bagaikan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir dariku dan burung tak dapat terbang sampai kepadaku. Maka aku mengulur tabir terhadap kekhilafahan dan melepaskan diri darinya. Kemudian aku mulai berpikir, apakah aku harus menyerang dengan tangan terputus atau bersabar atas kegelapan yang membutakan. Dimana orang dewasa menjadi tua bangka dan anak kecil menjadi beruban dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup dalam tekanan sampai ia menemui Tuhannya! Aku dapati bahwa bersabar atasnya lebih bijaksana, maka aku bersabar, walaupun ia (rasanya seperti) menusuk mata dan mencekik kerongkongan, aku menyaksikan warisanku (kekhilafahanku) dirampok!” [Ibnu Abi al-Hadid, Kitab Syarh Nahjul Balaghah, Jilid 1, Hal 134]

Fatimah as mengecam atas pengkhianatan tersebut:

لا عهدي لي بقوم حضروا أسوأ محصر منكم، تركتم رسول الله صلى الله عليه (وآل) وسلم جنازة بين أيدنا، وقطعتم أمركم بينكم، لم تستأمرونا، ولم تزدوا لنا حقا

“..Aku tidak pernah mendapati kaum yang datang dengan cara yang lebih buruk daripada kalian. Kalian tinggalkan jenazah Rasulullah SAW di sisi kami. Kalian memutuskan urusan kalian sendiri tanpa meminta pendapat kami dan tidak memberikan hak kami (Ahlubait as)!” [Ibnu Qutaibah, Kitab al-Imamah wa al-Siyasah, Hal 16, Penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyyah]

Atas pengkhianatan tersebut, ahlulbait nabi SAW tidak membaiat Abu Bakar!

ﻭﻋﺎﺷﺖ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ …‏‎ ‎ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻳﺒﺎﻳﻊ ﺗﻠﻚ ﺍﻷﺷﻬﺮ .‏‎ – ‎ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ، ﺝ ،5 ﺹ ،82 ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ، ﺝ ،‏‎ ‎5ﺹ 154 .

“Fatimah az-Zahra hidup setelah 6 bulan wafatnya Rasulullah SAW, beliau tidak memberi bai’at (kepada Abu Bakar) selama itu.” [Imam Bukhari, Kitab Shahih Bukhari, jilid 5, Hal 82]

ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺟﻞ ﻟﻠﺰﻫﺮﻱ : ﻓﻠﻢ ﻳﺒﺎﻳﻌﻪ ﻋﻠﻲّ ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ؟

ﻗﺎﻝ : ﻻ ، ﻭﻻ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺑﻨﻲ ﻫﺎﺷﻢ .‏‎ – ‎ﺍﻟﻤﺼﻨﻒ ﻟﻌﺒﺪ ﺍﻟﺮﺯﺍﻕ ﺍﻟﺼﻨﻌﺎﻧﻲ، ﺝ ،5 ﺹ – 472‎-‎

“Seorang lelaki bertanya kepada Zuhri: ‘Apakah benar Ali selama 6 bulan tidak memberi Baiat?’ Beliau menjawab: ‘Ali dan Bani Hashim tidak memberi Baiat!’” [Imam Abdurrazzaq Ash-Shan’ani, Kitab Al-Mushannaf, Jilid 5, Hal 472-473]

Komentar ini telah dinukilkan dalam Sunan Baihaqi, Tarikh Thabari dan Ibnu Atsir dalam kedua kitab Rijal dan Tarikhnya. Rujukannya sebagai berikut:

ﺍﺳﺪ ﺍﻟﻐﺎﺑﺔ: 222/3 ﻭ ﺍﻟﻜﺎﻣﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺦ ، ﺝ ، 2 ﺹ

325 ﻭ ﺍﻟﺴﻨﻦ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ، ﺝ ،6 ﺹ 300 ﻭ ﺗﺎﺭﻳﺦ‎ ‎ﺍﻟﻄﺒﺮﻱ، ﺝ ،2 ﺹ 448 .

Asad al-Ghabah, Jilid 3, Hal 222; Kamil Fi Tarikh, Jilid 2, Hal 325; Sunan al-Kubra, Jilid 6, Hal 300; Tarikh al-Tabari, Jilid 2, Hal 448.

Ibnu Hazm salah seorang ulama besar ahlussunnah juga mengatakan:

ﻭﻟﻌﻨﺔ ﺍﻟﻠّﻪ ﻋﻠﻰ ﻛﻞّ ﺇﺟﻤﺎﻉ ﻳﺨﺮﺝ ﻋﻨﻪ ﻋﻠﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻰ‎ ‎ﻃﺎﻟﺐ ﻭﻣﻦ ﺑﺤﻀﺮﺗﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ .‏‎- ‎ﺍﻟﻤﺤﻠﻰ: ﺝ ،9 ﺹ ،345 ﺑﺘﺤﻘﻴﻖ ﺃﺣﻤﺪ ﻣﺤﻤﺪ ﺷﺎﻛﺮ،‏‎ ‎ﻁ. ﺑﻴﺮﻭﺕ – ﺩﺍﺭﺍﻟﻔﻜﺮ .

“Laknat Allah ke atas seluruh Ijma yang mana Ali bin Abi Talib dan para sahabatnya tidak termasuk di dalamnya!” [Imam Jalaluddin al-Mahalli, Kitab al-Mahalli, Jilid 9, Hal 325]

Terdapat syubhat bahwa Abu Bakar menjadi khalifah karena ditunjuk Rasulullah SAW melalui isyarat sebagai imam shalat ketika beliau SAW sedang sakit. Hal ini tidaklah benar, kita harus mengetahui seluk – beluknya terlebih dahulu. Terkait hal ini telah dijelasan dari ulama besar ahlussunnah sendiri yaitu Ibnu Abil Hadid:

“Sebelum Rasulullah SAW wafat, beliau telah memberangkatkan pasukan Usamah bersama seluruh sahabat utama dengan meninggalkan Ali di Madinah. Maksud Rasulullah SAW adalah jika beliau meninggal, maka Ali langsung menjadi khalifah menggantikan beliau tanpa ada halangan dan keberatan pihak lain. Tatkala pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib berkata: ‘Ulurkan tanganmu, aku akan membai’atmu!’ dan orang akan berkata: ‘Paman Rasul membai’at sepupu Rasul dan tidak akan ada yang berselisih denganmu’ Ali menjawab: ‘Wahai paman, apakah ada orang lain yang menginginkannya?’ Abbas menjawab: ‘Kau akan tahu nanti.’ Ali berkata: ‘Saya tidak menginginkan jabatan ini melalui pintu belakang. Saya ingin semua dilakukan secara terbuka.’ Abbas lalu diam. Melihat situasi ini, maka ketika Rasulullah SAW dalam keadaan sakit parah, Aisyah berangkat ke perkemahan pasukan Usamah di Jurf untuk memanggil Abu Bakar pada pagi hari Senin, hari wafatnya Rasulullah SAW (bukan siang hari) dan memberitahukan bahwa Rasulullah SAW sedang sekarat. Dan tentang Abu Bakar mengimami shalat pada saat Rasulullah SAW sakit, Ali menyampaikan bahwa Aisyahlah yang memerintahkan Bilal, maula Abu Bakar memanggil ayahnya untuk mengimami shalat, karena Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan telah bersabda: ‘Agar orang – orang shalat sendiri – sendiri dan Rasul tidak menunjuk seorang pun untuk mengimami shalat, shalat itu adalah shalat subuh. Karena ulah Aisyah inilah maka Rasulullah SAW memerlukan keluar pada akhir hayatnya, dipapah oleh Ali bin Abi Thalib dan Fadhl bin Abbas sampai beliau berdiri di mihrab!” [Ibnu Abil Hadid, Kitab Syarh Nahjul Balaghah, Jilid 2, Hal 192-197]

3.3 Bantahan – bantahan atas penentangan hadits Ghadir Khum [Kembali]
Jika ada yang menyatakan bahwa hadits Ghadir Khum itu dha’if (lemah), maka sungguh dia telah berdusta! Misalnya saja datang dari pengakuan ulama ahlussunnah tersohor mazhab Syafi’i, yaitu Ibnu al-Maghazali asy-Syafi’i, beliau menukil ucapan gurunya Abul Qasim al-Fadhl bin Muhammad sebagai berikut:

85

(Screenshoot Kitab Manaqib Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib, Hal 36)

“Abul Qasim al-Fadhl bin Muhammad berkata: ‘(Hadits Ghadir Khum) Ini adalah hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan hadits Ghadir Khum telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam oleh seratus orang termasuk sepuluh yang utama. Ini merupakan hadits yang kuat dan tidak memiliki cacat (illat), ini adalah keutamaan khusus Ali dan tidak ada yang sebanding dengannya’.” [Ibnu al-Maghazali asy-Syafi’I, Kitab Manaqib Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib, Hal. 36, Terbitan Mansyurat Dar Maktabah al-Hayah, Beirut Libanon]

Sungguh hadits Ghadir Khum ini sangatlah mutawatir, karena sangat banyak yang meriwayatkannya. Sepengetahuan saya tidak ada hadits yang diriwayatkan sebanyak itu selain hadits Ghadir Khum ini, tentunya yang saya maksud adalah dalam sumber ahlussunnah/sunni sendiri.

Diantara para sahabat nabi Muhammad SAW, terdapat 110 sahabat yang meriwayatkannya, yakni diantaranya:

  1. Di antara para thabi’in terdapat 84 orang;
  2. Di antara ulama abad kedua Hijriah terdapat 56 orang;
  3. Di antara ulama abad ketiga Hijriah terdapat 92 orang;
  4. Di antara ulama abad keempat Hijriah terdapat 43 orang;
  5. Di antara ulama abad kelima Hijriah terdapat 24 orang;
  6. Di antara ulama abad keenam Hijriah terdapat 20 orang;
  7. Di antara ulama abad ketujuh Hijriah terdapat 21 orang;
  8. Di antara ulama abad kedelapan Hijriah terdapat 18 orang;
  9. Di antara ulama abad kesembilan Hijriah terdapat 16 orang;
  10. Di antara ulama abad kesepuluh Hijriah terdapat 14 orang;
  11. Di antara ulama abad kesebelas Hijriah terdapat 12 orang;
  12. Di antara ulama abad keduabelas Hijriah terdapat 13 orang;
  13. Di antara ulama abad ketigabelas Hijriah terdapat 12 orang;
  14. Di antara ulama abad keempatbelas Hijriah terdapat 19 orang;

“Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadits ini dengan 40 sanad, Ibn Jarir at-Thabari dengan 72 sanad, Jazari Muqarri dengan 80 sanad, Ibn Uqdah dengan 105 sanad, Abu Sa’ad Mas’ud Sajistani dengan 120 sanad dan Abu Bakar Jua’bi dengan 125 sanad.” [Abdul Husain Amini, Kitab al-Ghadir, Jilid 1, Catatan Kaki Hal 14]

Ibnu Hajar al-Haitami menulis:

Hadits ini diriwayatkan oleh tiga puluh orang sahabat Rasulullah SAW sanad – sanad hadits tersebut adalah shahih dan hasan.” [Ibnu Hajar al-Haitami, Kitab ash-Shawaiq al-Muhriqah, Hal 188]

Ketahuilah, semenjak abad kedua hingga masa munculnya mazhab, tidak satu pun dari perawi hadits ini berasal mazhab syiah.

Sibt bin Jauzi seorang ulama ahlusunnah mazhab Hambali, setelah membahas tuntas hadits ghadir Khum, beliau berkesimpulan bahwa hadits ini bermakna awla (pemimpin/khalifah). [Sibth Ibnul Jauzi Yusuf bin Qizughli al-Hanafi, Kitab Tadzkirah al-Khawwash, Hal 38]

Tatkala Imam Hasan Mujtaba as mengambil keputusan untuk berdamai dengan Mua’wiyah, ia menyampaikan khutbah. Khutbah tersebut tertoreh dalam sejarah:

“Umat ini mendengar dari datukku Rasulullah SAW yang bersabda: ‘Setiap umat mewakilkan urusan mereka kepada seseorang yang lebih alim dan lebih layak di antara mereka. Mereka akan mengalami kejatuhan dan penurunan, kecuali mereka memprioritaskan orang yang lebih layak di kalangan mereka. Dan kalian mendengar ia bersabda kepada ayahku: ‘Engkau bagiku bagaikan Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku.’ Kalian mendengar bahwa pada Ghadir Khum ia mengangkat tangan ayahku dan bersabda: ‘Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Kemudian ia bersabda: ‘orang-orang yang hadir hendaknya menyampaikan kepada orang-orang yang tidak hadir!’” [Syaikh Sulaiman al-Qunduzi al-Hanafi, Kitab Yanabi’ul Mawaddah, Hal 36]

Pada perang Shiffin imam Ali as menulis surat dan ia menugaskan Ashbagh bin Nabatah untuk menyampaikan surat itu kepada Mua’wiyah. Tatkala Ashbagh memasuki majelis Mua’wiyah, sekelompok laskar juga hadir di tempat itu. Di antara laskar tersebut, dua orang sahabat Rasulullah SAW yaitu Abu Hurairah dan Abu Darda berada dalam majelis tersebut. Ashbagh berkata:

“Ketika Mua’wiyah membaca surat itu, ia berkata: ‘Mengapa Ali tidak menyerahkan kepada kita orang yang membunuh Utsman?’ Aku berkata: ‘Wahai Mu’awiyah, jangan engkau berdalih dengan darah Utsman! Engkau adalah orang yang mengejar kekuasaan dan pemerintahan! Jika engkau memang ingin membantu Utsman, sesungguhnya engkau dapat membantunya pada masa hidupnya, akan tetapi engkau berdalih atas darahnya. Engkau sangat dahaga kekuasaan hingga ia terbunuh!’ Mu’awiyah menjadi bungkam dengan ucapan Ashbagh ini. Dan aku yang lebih ingin menumpahkan amarah berkata kepada Abu Hurairah: ‘Wahai sahabat Rasulullah SAW, aku bersumpah kepada Allah yang Maha tahu atas yang lahir dan ghaib dan kepada kekasih-Nya Muhammad SAW apakah engkau hadir pada hari Ghadir Khum? Ia menjawab: ‘Iya aku hadir di tempat itu.’ Aku berkata: ‘Apakah yang engkau dengar dari Rasulullah SAW perihal Ali?’ Ia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Bantulah orang yang membantunya dan tinggalkanlah orang yang meninggalkannya. Aku berkata: ‘Wahai Abu Hurairah, lalu mengapa engkau bersahabat dengan musuhnya dan memusuhi orang yang bersahabat dengannya?’ Abu Hurairah berseru: ‘ah!’ dan berkata: ‘Inna lillahi wa inna ilahi Raji’un.’” [Sibth Ibnul Jauzi Yusuf bin Qizughli al-Hanafi, Kitab Tadzkirah al-Khawwash, Hal 83]

Berpikirlah, jika hadits ghadir Khum ini tidak bermakna kepemimpinan baginda imam Ali as, maka Abu Hurairah tidak akan mengeluh dan menahan malu di hadapan Ashbagh.

“Suatu waktu Abu Hurairah masuk ke masjid Kufah. Orang-orang segera mengerumuninya. Setiap orang mengajukan pertanyaan kepadanya. Seorang pemuda bangkit dan berkata: ‘Aku bersumpah kepada Allah bahwa apakah engkau mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya!’ Abu Hurairah berkata: ‘Aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah SAW bersabda demikian.’” [Imam al-Haitsami, Kitab Majma’uz Zawaid, Jilid 9, Hal 105]

Amr bin Ash merupakan salah seorang musuh imam Ali as. Dialah yang menjadi kontributor pemikiran bagi Mu’awiyah sekaligus juga yang merancangnya untuk berhadapan dengan imam Ali as. Setelah Mu’awiyah mengusulkan agar dia memangku jabatan sebagai gubernur Mesir. Mu’awiyah mengirimkan surat memohon bantuan kepadanya untuk menuduh bahwa imam Ali as yang menyebabkan Utsman terbunuh dan menyeru bahwa dirinya adalah khalifah Utsman.’ Amr bin Ash dalam menjawab surat Mu’awiyah, ia menulis:

“Aku telah membaca surat dan telah memahaminya dengan baik. Adapun engkau memintaku untuk keluar dari agama islam, aku telah mengucapkan selamat tinggal kepada islam dan memasuki lembah kesesatan dan membantumu pada jalan-jalan bathil dan menghunus pedang di hadapan Amirul Mukminin (imam Ali as), padahal ia adalah saudara, wali, washi, dan pewaris Rasulullah SAW dan ialah yang telah menunaikan agama Rasulullah SAW dan memenuhi janji-janjinya, ia adalah menantu Nabi SAW dan suami dari penghulu wanita seluruh alam, ayah dari Hasan dan Husain penghulu pemuda di Surga. Aku tidak dapat menerima permintaanmu ini. Adapun engkau berkata: ‘Aku adalah khalifah Utsman’, (padahal) dengan tewasnya Utsman engkau telah tergeser. Kekhalifahanmu akan sirna. Dan (sehingga) engkau berkata: ‘Amirul Mukmininlah yang menggerakan sahabat untuk membunuh Utsman, perkataan ini adalah dusta dan palsu! Celakalah engkau wahai Mu’awiyah, tidakkah engkau tahu bahwa Abul Hasan telah mempersembahkan jiwanya di jalan Allah dan tidur di pembaringan Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW bersabda tentangnya: ‘Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maula, maka Ali adalah maulanya!’” [Sibth Ibnul Jauzi Yusuf bin Qizughli al-Hanafi, Kitab Tadzkirah al-Khawwash, Hal 84]

“Seseorang yang bernama Yazid bin Umar berkata: ‘Aku berada di Syam, Umar bin Abdul Aziz membagi-bagikan harta. Untuk mendapatkan jatah dari harta tersebut, aku juga turut kesana. Tatkala giliranku tiba, ia berkata: ‘Engkau berasal dari kabilah mana? Kujawab: ‘Aku berasal dari Quraisy’. Ia bertanya lagi: ‘Dari thaifah mana?’ jawabku: ‘Dari thaifah Bani Hasyim’. Ia bertanya lagi: ‘Dari keluarga mana?’ Aku berkata: ‘Dari keluarga Ali’. Ia berkata: ‘Ali yang mana?’ Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Umar bin Abdul Aziz sembari meletekkan tangannya di dada, ia berkata: ‘Demi Allah, aku juga berasal dari keluarga Ali. Sekelompok orang meriwayatkan hadits kepadaku bahwa Nabi SAW bersabda: ‘Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya.’ Kemudian ia menghadap ke arah pembantunya yang membagikan harta lalu bertanya: ‘Berapa yang engkau berikan kepada orang ini?’ jawabnya: ‘Seratus atau dua ratus Dirham’ ia berkata: ‘Sekarang berikan kepadanya lima puluh dinar, karena ia memiliki wilayah kepada Ali bin Abi Thalib.’ Kemudian ia berkata kepadaku: ‘Kembalilah ke kotamu. Bagianmu dari baitulmal akan engkau dapatkan di tempat itu juga.’” [Ibrahim al-Juwaini asy-Syafii, Kitab Fara’id as-Simthain, Jilid 1, Hal 66, Bab 10, No 31; Abu Nu’aim al-Asfahani, Kitab Hilyatul Auliya wa Thabaqat al-Ashfiya, Jilid 5, Hal 364]

“Pada saat terjadi perdebatan tentang keutamaan sahabat-sahabat Nabi SAW antara Makmun dan hakim agung pada masanya, yakni Ishaq bin Ibrahim, Makmun bertanya kepadanya: ‘Apakah engkau pernah meriwayatkan hadits wilayah?’ Ia berkata: ‘Ya.’ Makmun bertanya: ‘Coba engkau sebutkan hadits itu.’ Kemudian Yahya menyampaikan hadits tersebut. Makmun bertanya lagi: ‘Menurutmu apakah hadits ini menetapkan kewajiban yang harus ditunaikan oleh Abu Bakar dan Umar di hadapan Ali atau tidak?’ Ishaq menjawab: ‘Mereka berkata: ‘Nabi menyampaikan hadits ini tatkala terjadi perbedaan antara Ali dan Zaid bin Haritsa. Zaid menegasikan kekerabatan Ali dengan Rasulullah SAW, karena alasan ini Nabi SAW bersabda: ‘Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya.’ Makmun bertanya: ‘Apakah Nabi SAW menyampaikan hadits ini pada saat kembalinya dari Hajjatul Wida?’ Ishaq menjawab: ‘Ya.’ Makmun berkata: ‘Zaid bin Haritsah telah meninggal sebelum peristiwa Ghadir. Bagaimana engkau dapat menerima bahwa Nabi SAW menyampaikan hadits ini karena Zaid? Coba katakan kepadaku, apabila seorang pemuda lima belas tahun berkata kepada orang-orang: Ayyuhannas, ketahuilah, Siapa saja yang menjadi kerabatku adalah kerabat putra pamanku juga!’ Apakah engkau tidak akan berkata kepadanya bahwa mengapa anda menyampaikan kembali sesuatu yang bukan rahasia lagi dan diketahui oleh semua orang?’ Ia berkata: ‘Tentu, aku akan bertanya kepadanya.’ Makmun berkata: ‘Wahai Ishaq, Anda tidak menerima perbuatan pemuda lima belas tahun akan tetapi menerima perbuatan Rasulullah SAW? Celakalah engkau, mengapa engkau menyembah para fuqahamu!’” [Ahmad bin Muhammad bin Abd Rabbih, Kitab al-Iqd al-Farid, Jilid 5, Hal 82]

Ada juga sanggahan lain, mereka berkata bahwa hadits Ghadir Khum tidak diyakini sebagai kepemimpinan karena hadits itu menggunakan kata maula, bukan wali, dimana untuk menunjukkan kepemimpinan, dalam QS al-Maidah ayat 51 menggunakan kata awliya (bentuk jamak dari kata wali). Jika demikian, sebenarnya mereka kurang mencari tahu, karena ada juga hadits ghadir khum yang redaksinya menggunakan kata wali. Ini bukti haditsnya:

13

(Screenshoot Kitab Fadha’il al-Shahabah, Hadits No 45, Hal 15)

“Sungguh aku meninggalkan untuk kalian dua pusaka. Salah satunya lebih besar dari yang lain; Kitabullah dan Itrahku Ahlul Baitku. Maka perhatikanlah bagaimana memperlakukan keduanya sepeninggalku. Karena sungguh keduanya tidak berpisah hingga menemuiku di haudh (telaga surga).
Sungguh Allah adalah maula dan aku adalah wali setiap mukmin. Lalu mengangkat tangan Ali dan berkata: Barangsiapa yang menjadikan aku walinya, maka ia (Imam Ali as) juga sebagai walinya. Ya Allah, pimpinlah orang yang menjadikannya pemimpin dan musuhilah orang yang memusuhinya.” [Imam an-Nasa’i, Kitab Fadha’il al-Shahabah, Hadits No 45, Hal 15]

Ulama sunni yang bernama Abu Ja’far Al-Thahawi, dalam kitab Syarh Musykil al-Atsar, juz 5, halaman 19, setelah menukil hadits no. 1765 dengan sanad sama ia menyatakan: “Hadits ini sanadnya shahih!”.

Jadi yang meyakini kata wali dalam QS al-Maidah ayat 51 sebagai pemimpin, harus konsisten juga dengan meyakini kata wali dalam hadits Ghadir Khum diatas sebagai pemimpin, sehingga yakin bahwa imam Ali as adalah pemimpin/khalifah setelah Rasulullah SAW, bukan berdasarkan ijtihad manusia, melainkan dalil!

Setelah ditunjukkan adanya hadits Ghadir Khum yang redaksinya menggunakan kata wali, eh rupanya masih dibantah lagi bahwa itu tidaklah berarti sebagai kepemimpinan setelah Nabi SAW, melainkan hanyalah sebagai himbauan bahwa imam Ali as adalah saudaranya. Jika QS al-Maidah ayat 51 tidak cukup menguatkan mereka, maka saya buktikan dari lisan Abu Bakar sendiri ketika berpidato ia menggunakan kata “Wali” dalam menegaskan kepemimpinannya ketika di Saqifah. Redaksi pidato Abu Bakar di Saqifah ditulis oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah, Abu Bakar berkata dalam pidatonya:

83

(Screenshoot Kitab Al-Bidayah wan Nihayah, Jilid 8, Hal 89)

“Sesungguhnya aku telah dipilih menjadi wali (wullitu) atas kalian, sementara aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.” [Ibnu Katsir, Kitab Al-Bidayah wan Nihayah, Jilid 8, Hal 89, Tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, Terbitan Dar Hijr]

Selain itu, pikirkanlah, orang – orang sudah pada tahu bahwa imam Ali as adalah saudara sepupu Rasulullah SAW, maka logikanya buat apa Rasulullah SAW mengumpulkan ratusan ribu orang untuk itu?!
Tak hanya menggunakan redaksi maula dan wali saja, bahkan redaksi khalifah dalam hadits Ghadir Khum di sumber ahlussunnah juga ada, dan hal ini tidak dapat ditafsirkan atau dibantah lagi sebagai makna kepemimpinan! Ini buktinya:

22a

(Screenshoot Kitab al-Sunnah, Juz 2, No 1188, Hal 65)

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsanna; telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari Amr bin Maimun dari Ibn Abbas yang berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda kepada Ali: ‘Kedudukanmu di sisiku sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya aku pergi kecuali engkau sebagai khalifahku bagi setiap mukmin setelahku!’.” [Al-Hafizh Abi Bakr Amru bin Abi Ashim al-Dhahhak bin Mukhallad al-Syaibani, Kitab al-Sunnah, Juz 2, No 1188, Hal 65, cetakan 1 al-Maktaba al-Islami, Damaskus 1400 H/1980 M]

Mengenai hadits diatas, Syaikh Nashiruddin al-Albani mengatakan:

إسناده حسن

“Sanadnya hasan.” [Nashiruddin al-Albani, Kitab Zhilal al-Jannah fi Takhrij al-Sunnah, juz 2, hal 565]

Setelah menilai hasan, Syaikh al-Albani juga menyatakan bahwa riwayat tersebut perawinya tsiqah dan diriwayatkan oleh para perawi Bukhari dan Muslim kecuali Abi Balj yang namanya adalah Yahya bin Sulaim. Adapun dari yang lain, Yahya bin Sulaim adalah perawi yang tsiqah. Ibnu Hajar al-Asqalani pada biografi Abi Balj yakni Yahya bin Sulaim, menyebutkan keterangan berikut:

وقال ابن معين، وابن سعد، والنسائي، والدارقطني: ثقة.

“Ibn Ma’in, Ibn Sa’ad, Al-Nasa’i, dan Al-Daraquthni menyatakan ia tsiqah.”

قال أبو حاتم: صالح الحديث، لا بأس به.

“Abu Hatim berkata: ‘Haditsnya baik, tidak ada masalah padanya’.”

قال إبراهيم بن يعقوب الجوزجاني، و أبو الفتح الأزدي: كان ثقة.

“Ibrahim bin Ya’qub Al-Jauzajani dan Abu Al-Fath Al-Azdi menyatakan bahwa ia tsiqah.”

[Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib, Jilid 7, hal 319-320]

Alhasil, semua perawinya adalah tsiqah, maka lebih pasti jika hadits ini shahih!

Lalu sanggahan terakhir, ada takwilan yang lemah dan dipaksakan bahwa hadits Ghadir Khum ini diucapkan untuk meredakan amarah orang – orang yang merendahkan atau tidak suka kepada Imam Ali as perihal pembagian rampasan di Yaman. Silakan perhatikan hadits Ghadir Khum yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada banyak orang, tidak ada disana disebutkan perihal orang – orang yang merendahkan atau mencaci imam Ali as. Jika memang hadits ghadir khum diucapkan Rasulullah SAW untuk menepis cacian terhadap Imam Ali as, maka Rasulullah SAW pasti akan menjelaskan duduk perkara rampasan di Yaman itu atau menunjukkan kecaman beliau SAW kepada mereka yang mencaci imam Ali as. Tetapi kenyataannya dalam lafadz hadits Ghadir Khum tidak ada yang seperti itu, yang ada malah Rasulullah SAW meninggalkan wasiat bahwa seolah beliau SAW akan dipanggil ke Rahmatullah, wasiat tersebut berkaitan dengan kepemimpinan Imam Ali as dan berpegang teguh pada al-Qur’an dan ahlulbait. Sungguh jauh lafadz hadits tersebut dari syubhat para pengingkar!

Hadits yang dijadikan hujjah oleh penyebar syubhat ini adalah hadits Buraidah ketika ia menceritakan soal para sahabat yang merendahkan Imam Ali as. Ternyata hadits tersebut bukan diucapkan di Ghadir Khum. Disini Rasulullah SAW mengingatkan Buraidah dan sahabat lain yang ikut di Yaman agar berhenti dari sikap mereka karena Imam Ali as adalah pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW:

عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة قال بعث رسول الله صلى الله عليه و سلم بعثين إلى اليمن على أحدهما علي بن أبي طالب وعلى الآخر خالد بن الوليد فقال إذا التقيتم فعلي على الناس وان افترقتما فكل واحد منكما على جنده قال فلقينا بنى زيد من أهل اليمن فاقتتلنا فظهر المسلمون على المشركين فقتلنا المقاتلة وسبينا الذرية فاصطفى علي امرأة من السبي لنفسه قال بريدة فكتب معي خالد بن الوليد إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم يخبره بذلك فلما أتيت النبي صلى الله عليه و سلم دفعت الكتاب فقرئ عليه فرأيت الغضب في وجه رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلت يا رسول الله هذا مكان العائذ بعثتني مع رجل وأمرتني ان أطيعه ففعلت ما أرسلت به فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تقع في علي فإنه منى وأنا منه وهو وليكم بعدي وانه منى وأنا منه وهو وليكم بعدي

“Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah yang berkata: ‘Rasulullah SAW mengirim dua utusan ke Yaman, salah satunya dipimpin Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya dipimpin Khalid bin Walid. Beliau SAW bersabda: ‘bila kalian bertemu maka yang jadi pemimpin adalah Ali dan bila kalian berpisah maka masing-masing dari kalian memimpin pasukannya. Buraidah berkata: ‘kami bertemu dengan bani Zaid dari penduduk Yaman kami berperang dan kaum muslimin menang dari kaum musyrikin. Kami membunuh banyak orang dan menawan banyak orang kemudian Ali memilih seorang wanita diantara para tawanan untuk dirinya. Buraidah berkata: ‘Khalid bin Walid mengirim surat kepada Rasulullah SAW memberitahukan hal itu. Ketika aku datang kepada Rasulullah SAW, aku serahkan surat itu, surat itu dibacakan lalu aku melihat wajah Rasulullah SAW yang marah kemudian aku berkata: ‘Wahai Rasulullah SAW, aku meminta perlindungan kepadamu sebab Engkau sendiri yang mengutusku bersama seorang laki-laki dan memerintahkan untuk mentaatinya dan aku hanya melaksanakan tugasku karena diutus. Rasulullah SAW bersabda: ‘Jangan membenci Ali, karena ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu, ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalku!’.” [Imam Ahmad bin Hanbal, Kitab al-Musnad, Hadits no 22908, Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain. Dinyatakan shahih]

Syaikh Al Albani berkata dalam kitab Zhilal al-Jannah Fi Takhrij as-Sunnah menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (baik), ia berkata:

أخرجه أحمد من طريق أجلح الكندي عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة وإسناده جيد رجاله ثقات رجال الشيخين غير أجلح وهو ابن عبد الله بن جحيفة الكندي وهو شيعي صدوق

“Dikeluarkan Ahmad dengan jalan Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah dengan sanad yang jayyid (baik) para perawinya terpercaya, perawi Bukhari dan Muslim kecuali Ajlah dan dia adalah Ibnu Abdullah bin Hujayyah al-Kindi dan dia seorang syiah yang shaduq (jujur).” [Syaikh Al Albani, Kitab Zhilal al-Jannah Fi Takhrij as-Sunnah, No 1187]

Bacalah dengan baik, justru hadits Buraidah di atas menjadi penguat bahwa Imam Ali as adalah pemimpin bagi setiap mukmin (semua sahabat Nabi) sepeninggal Nabi SAW, sehingga sungguh tidak berguna syubhat dari para pengingkar!

3.4 Riwayat – riwayat Penguat atas hadits Ghadir Khum [Kembali]
Jika anda masih ragu dengan kepemimpinan Ali as, lihatlah Ibnu Abbas ternyata berwilayah (mengakui kepemimpinan) imam Ali as:

84

(Screenshoot Kitab Fadha’ilus Shahabah, Hal. 253, Hadits no 1131)

“Sahabat ahli tafsir, Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma ketika menjelang wafat, beliau berdoa: ‘Ya Allah, aku mendekatkan diri kepada-Mu dengan wilayah Ali bin Abi Thalib’.” [Imam Ahmad bin Hanbal, Kitab Fadha’ilus Shahabah, Bab Keutamaan Ali karramallahu wajhah, Hal 253, Hadits no 1131, Tahqiq Ahmad Farid al-Mazidi, Terbitan Darul Kutub al-Ilmiyah]

Lalu Seorang tokoh ulama besar ahlussunnah yakni imam al-Ghazali, menyatakan didalam kitabnya Majmuah Rasail sebagai berikut:

72

(Screenshoot Kitab Majmuah Rasail, Hal 483)

“Dan jumhur (mayoritas ulama) telah bersepakat atas redaksi hadits dari khutbahnya (nabi Muhammad SAW) pada hari raya Ghadir Khum dengan kesepakatan seluruh (muslimin) dimana beliau SAW bersabda: ‘Barangsiapa aku adalah pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya!’. Kemudian Umar berkata: ” Selamat.. Selamat, Wahai Abul Hasan (Ali as), engkau telah menjadi maulaku (pemimpinku) dan maula (pemimpin) setiap maula’.
Ini (pernyataan Umar) merupakan (bentuk) penerimaan (taslim), keridhoan (ridho) & penyerahan kepemimpinan (tahkim). Namun setelah itu ia (Umar) dikuasai hawa nafsu disebabkan cinta kepemimpinan dengan mengambil tiang khilafah & janji – janji kenabian, kemudian debar hawa nafsu (menyelubunginya) dalam kibaran bendera (kekuasaan). Kekacauan dan gemuruhnya pasukan kuda, untuk memperluas kekuasaan dan mencekoki mereka dengan cawan hawa nafsu yang menyebabkan mereka kembali pada konflik awal (masa jahiliyah), sesuai dengan ayat: ‘Lalu mereka melemparkan (janji itu) ke belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga murah.’ (QS Ali Imran, ayat 187)”
[Imam al-Ghazali, Kitab Majmuah Rasail, Hal 483, Terbitan Maktabah Taufikiqiyah]

Saya tidak tahu apakah dengan demikian maka di akhir hayatnya imam al-Ghazali telah menjadi syiah dan bertaqiyah atau tidak, yang jelas pernyataan beliau sangat bagus untuk direnungi!

Tak hanya dari imam al-Ghazali, hal yang tak kalah heboh juga datang dari ulama ahlussunnah dari kalangan mazhab Hanafi, yakni Sibth Ibnul Jauzi Yusuf bin Qizughli. Dalam kitabnya Tadzkiratul Khawwash, beliau yang mengomentari tentang hadits Ghadir Khum dengan jelas mengatakan bahwa hadits tersebut merupakan wilayah atau kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Ia mengatakan:

88

(Screenshoot Kitab Tadzkirah al-Khawwash, Hal 30)

“Para ulama sirah sepakat bahwa peristiwa Ghadir Khum terjadi sepulang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam dari haji wada pada 18 Dzulhijjah. Beliau mengumpulkan sahabat dan jumlah mereka saat itu seratus dua puluh ribu (120.000) sahabat. Lalu beliau bersabda: ‘Barangsiapa yang menjadikan aku maulanya (pemimpin/wali/khalifah), maka Ali adalah maulanya.’ Hadits ini merupakan Nash yang tegas atas kepemimpinan Ali, bukan dengan singgungan atau isyarat.” [Sibth Ibnul Jauzi Yusuf bin Qizughli al-Hanafi , Kitab Tadzkirah al-Khawwash, Hal 30]

Bahkan ini yang paling menghebohkan, menyangkut QS al-Ma’idah Ayat 67 ternyata dalam riwayat ahlussunnah itu menyangkut kepemimpinan imam Ali as! Sungguh tak terbayangkan! Ini buktinya:

6x

(Screenshoot Kitab Durr al-Manthur, Jilid 2, Hal 298)

“Abu Said Khudri dan Abdullah bin mas’ud menceritakan: ‘Selama masa Rasulullah SAW kami biasa membaca ayat ini seperti ini: ‘(5:67) Hai Rasulullah, beritakanlah apa yang diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu, bahwa Ali adalah pemimpin/penguasa orang-orang yang beriman. Dan jika tidak, maka kamu belum menyampaikan pesannya!’.” [Imam as-Suyuthi, Kitab Durr al-Manthur, Jilid 2, Hal 298; al-Alusi, Kitab Tafsir Roh al-Ma’ani, Jilid 3, Hal 359; Ibnu Marduyah, Kitab al-Manaqib, Hal 239, Hadits No 346; Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Kitab al-Tafair wa al-Mufassirun, Jilid 2, Hal 214]

Imam ath-Thabari dalam kitabnya yaitu Tafsir ath-Thabari menafsirkan QS ar-Ra’d ayat 7 dengan menukil riwayat dari Abdullah bin Abbas:

73

(Screenshoot Kitab Tafsir ath-Thabari, Juz 13, Hal 443)

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas yang berkata bahwa ketika ayat ini turun: ‘Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.’ [QS. Ar-Ra’d: 7], Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam meletakkan tangannya di dadanya sembari bersabda: ‘Aku adalah pemberi peringatan, dan setiap kaum memiliki seorang yang memberi petunjuk.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam memberi isyarat dengan meletakkan tangannya di atas pundak Sayyidina Ali radhiyallahu anhu seraya bersabda: ‘Wahai Ali, engkau adalah seorang pemberi petunjuk. Orang-orang yang telah mendapat petunjuk (terhidayahi) setelahku akan mendapatkan petunjuk darimu.’.” [Ibnu Jarir ath-Thabari, Kitab Tafsir ath-Thabari, Juz 13, Hal 443, Tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, Terbitan Dar Hijr. Pada catatan kaki nomor 2 muhaqqiq kitab tersebut berkata: “Riwayat ini juga disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.”]

Pemimpin orang – orang beriman adalah imam Ali as. Abu Nu’aim al-Asfahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya meriwayatkan dengan sanadnya:

74

(Screenshoot Kitab Hilyatul Auliya wa Thabaqat al-Ashfiya, Juz 1, Hal 64)

“Dari Al-A’masy, dari Mujahid, dari sahabat ahli tafsir Abdullah bin Abbas yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam bersabda: ‘Tidaklah Allah menurunkan satu ayat yang padanya (yang terdapat kalimat): ‘Hai orang-orang yang beriman..’, kecuali Ali bin Abi Thalib adalah kepala dan pemimpinnya.’.” [Abu Nu’aim al-Asfahani, Kitab Hilyatul Auliya wa Thabaqat al-Ashfiya, Juz 1, Hal 64, Terbitan Darul Kutub al-Ilmiyah Beirut Libanon, Cetakan pertama, Tahun: 1409 H/1988 M. Hadits shahih, para perawinya tsiqat/terpercaya]

86

(Screenshoot Kitab Syawahid at-Tanzil, Jilid 2, Hal 318)

“Shakhr bin Harb/Abu Sufyan (bapaknya Muawiyah) datang kepada Rasulullah SAW hingga duduk di samping beliau lalu bertanya: ‘Urusan (kepemimpinan) setelahmu untuk siapa?’ Beliau SAW menjawab: ‘Untuk orang yang kedudukannya disisiku seperti kedudukan Harun disisi Musa.’.” [Al-Hakim al-Hiskani al-Hanafi, Kitab Syawahid at-Tanzil, Jilid 2, Hal 318, Tahqiq Syaikh Muhammad Baqir al-Mahmudi, Terbitan Mu’assasah al-A’lami lil Mathbu’at, Beirut Libanon]

Lantas siapakah orang yang dimaksud kedudukannya seperti nabi Harun as di sisi nabi Musa as? Dia adalah Ali bin abi Thalib as. Ini Riwayatnya:

ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali: ‘Kedudukanmu di sisiku sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai khalifahku untuk setiap mukmin setelahku’.” [Ibnu Abi Ashim asy-Syaibani, Kitab as-Sunnah, Hal 519, Hadits No 1188. Syaikh al-Albani dalam kitabnya Zhilal al Jannah Fi Takhrij as-Sunnah, Hal 520, Hadits No 1188 menilai sanadnya hasan]

16

(Screenshoot Kitab Tarikh dimasyq, jilid 42, hal 74)

“Mereka bertanya kepada Rasulullah SAW: ‘siapa yang akan membawa bendera anda pada hari penghakiman?’ Rasulullah SAW menjawab: ‘Orang yang membawa di dunia ini, Ali bin Abi Thalib’.” [Ibnu Asakir, Kitab Tarikh dimasyq, jilid 42, hal 74]

31

(Screenshoot Kitab ash-Shawa’iq al-Muhriqah, Juz 2, Hal 437)

Pada hari pembalasan kelak, kita akan ditanyakan tentang Wilayah/al-Wala’ terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Allah Ta’ala berfirman:

وقفوهم إنهم مسؤولون

“Tahanlah mereka (di tempat perhentian), sesungguhnya mereka akan ditanya.” [QS ash-Shaffat, ayat 24]

“Diriwayatkan oleh Ad-Dailami, dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwasanya mengenai ayat di atas Nabi Muhammad SAW bersabda: ‘Dan tahanlah mereka, sesungguhnya mereka akan ditanya tentang wilayah kepada Ali.’.” [Ibnu Hajar al-Haitami, Kitab ash-Shawa’iq al-Muhriqah, Juz 2, Hal 437, Tahqiq Abdurrahman bin Abdullah at-Turki, Penerbit Muassasah ar-Risalah]

49

(Screenshoot Kitab Manaqib, Bab Manaqib Imam Ali bin Abi Thalib, Hal 842, Hadits No 3713)

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Salamah bin Kuhail dia berkata: ‘saya mendengar Ath-Thufail bercerita dari Abu Sarihah atau Zaid bin Arqam -Syu’bah ragu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya.’.” [Sunan At-Tirmidzi, Kitab Manaqib, Bab Manaqib Imam Ali bin Abi Thalib, Hal 842, Hadits No 3713, Tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albani, Terbitan Maktabah al-Ma’arif Riyadh. Hadits ini dishahihkan al-Albani]

21

(Screenshoot Kitab al-Mustadrak Ala al-Shahihain, Juz 3, Hadits No 4675, Hal 334)

“Siapa yang taat kepadaku, maka ia telah taat kepada Allah. Siapa yang membangkang kepadaku maka ia telah membangkang kepada Allah. Siapa yang taat kepada ‘Ali, maka ia telah taat kepadaku. Siapa yang membangkang kepada ‘Ali, maka ia telah membangkang kepadaku.” [Al-Naisaburi (al-Hakim), Kitab al-Mustadrak Ala al-Shahihain, Juz 3, Hadits No 4675, Hal 334, Tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, Dar Al-Fikr, Beirut 1429 H/2009 M. Al-Hakim berkata haditsnya shahih, begitupun pada catatan kakinya ada pernyataan dari al-Dzahabi yang mengukuhkannya sebagai Shahih dalam kitab al-Talkhish]

Allah SWT berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“..Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu.” [Al-Maa-idah: 3]

Jika idul fitri adalah hari raya untuk kesempurnaan puasa, idul adha adalah hari raya untuk kesempurnaan haji, maka Idul Ghadir adalah hari raya untuk kesempurnaan islam. Ulama Ahlussunnah bermazhab Syafi’i, yakni Kamaluddin Muhammad bin Thalhah asy-Syafi’I, dalam kitabnya Mathalib as-Sa’ul mencatat bahwa hari Ghadir Khum telah menjadi sebuah hari raya. Ia mengatakan:

87

(Screenshoot Kitab Mathalib as-Sa’ul fi Manaqib Aali ar-Rasul, Hal 79)

“Hari itu (18 Dzulhijjah) menjadi hari raya dan pekan raya, karena merupakan waktu dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam mengkhususkan Ali dengan kedudukan yang sangat tinggi ini dan memuliakannya dengan kedudukan tersebut lebih dari semua orang yang lain.” [Kamaluddin Muhammad bin Thalhah asy-Syafi’I, Kitab Mathalib as-Sa’ul fi Manaqib Aali ar-Rasul, Hal 79, Terbitan Mu’assasah al-Balagh Beirut Libanon, Cetakan pertama tahun 1419H]

Rasulullah SAW bersabda:

إن عليا مني وأنا منه وهو ولي كل مؤمن بعدي

Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali. Ali adalah pemimpin setiap mukmin sepeninggalku!” [Musnad Abu Dawud, jilid 3, hal 111, no 829; Musnad Abu Dawud ath-Thayalisi 1/111, no 829; Musnad Abu Ya’la 1/293, no 355, Shahih Ibnu Hibban, 15/373, no 6929, Mu’jam al-Kabir, ath-Thabrani, 18/128; Shahih Tirmidzi, jilid 5, hal 236, 296; Shahih Ibn Habban, jilid 1, hal 383; Mustadrak al-Hakim, Ma’rifah Ash-Shahabah, jilid 3, hal 110,119; Sunan al-Nasai jilid 5, hal 132, no 8474; Musnad Ahmad, jilid 4, hal 437, No 19426 (No. 3062, 3063)]

أنت ولي كل مؤمن بعدي

“Engkau (Ali) adalah pemimpin setiap mukmin sepeninggalku! [Imam Ibnu Abdil Barr, Kitab al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashhab, Hal 1091; Al-Hakim an-Naisaburi, Kitab al-Mustadrak Ala al-Shahihain, Juz 3, Hal 143, Hadits No 4652]

Tak disangka, hadits diatas yang jelas – jelas shohih, mutawatir dan qath’i, dibantah secara tak berdasar oleh Ibnu Taimiyah! Dia menyatakan:

ومثل قوله: (أنت ولي في كل مؤمن بعدي) فإن هذا موضوع باتفاق أهل المعرفة بالحديث

“Seperti sabdanya: ‘Engkau adalah pemimpin untuk semua mukmin sepeninggalku’, ini adalah (hadits) palsu menurut kesepakatan ahli hadits.” [Ibnu Taimiyah, Kitab Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Juz 5, Hal 35-36, Tahqiq M. Rasyad Salim]

قوله: (هو ولي كل مؤمن بعدي) كذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Sabdanya: ‘Engkau adalah pemimpin setiap mukmin sepeninggalku’, adalah dusta atas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam!” [Ibnu Taimiyah, Kitab Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Juz 7, Hal 391, Tahqiq M. Rasyad Salim]

Benarkah hadits itu palsu sesuai kesepakatan ahli hadits dan dusta atas nama Rasulullah SAW? Mari kita bahas!

Terkait hadits kepemimpinan imam Ali as tersebut, Ibnu Abdil Barr menilai:

هذا إسناد لا مطعن فيه لأحد لصحته وثقة نقلته

“Dalam sanad-sanad ini tidak ada satu pun yang dicela bagi keshahihannya dan penukilannya terpercaya!” [Imam Ibnu Abdil Barr, Kitab al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashhab, Hal 1092, Biografi No 1855, Tahqiq Ali Muhammad al-Bajawi]

Ibnu Hajar al-Asqalani menilai:

وأخرج الترمذي بإسناد قوي

“Dan diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan sanad-sanad yang kuat!” [Ibnu Hajar al-Asqalani, Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, Juz 4, Hal 468, Biografi No 5704, Tahqiq Adil Ahmad Abd al-Mawjud dan Ali Muhammad Mu‘awwadh]

Al-Hakim an-Naisaburi menilai:

هذا حديث صحيح الإسناد

“Hadits ini shahih sanad-sanadnya!” [Al-Hakim an-Naisaburi, Kitab al-Mustadrak Ala ash-Shahihain, Juz 3, Hal 143-144, Tahqiq Mushthafa Abd al-Qadir Atha, Dalam hadits No 4652]

Tambah lagi di catatan kakinya disebutkan:

قال في التلخيص: صحيح

“Berkata (adz-Dzahabi) dalam kitab al-Talkhish: Shahih!” [Al-Hakim an-Naysaburi, Kitab al-Mustadrak ala ash-Shahihain, Juz 3, Hal 143-144, Tahqiq Mushthafa Abd al-Qadir Atha, Dalam catatan kaki pada hadits No 4652]

Empat penilaian ulama klasik tersebut cukup membuktikan kedustaan Ibnu Taimiyah tersebut. Bahkan jika kita menilai pakai ilmu hadits dan kitab – kitab rijal, hadits tersebut shahih karena perawinya tsiqah dan sanadnya bersambung.

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ اَحَبَّ اَنْ يَحْيَا حَيَاتِي وَيَمُوْتَ مَيْتَتِيْ وَيَدْخُلَ الجَنَّةَ الَّتِي وَعَدَنِي رَبِّي وَهِيَ جَنَّةُ الخُلْدِ فَالْيَتَوَلَّ عَلِيًّا وَذُرِّيَتَهُ مِنْ بَعْدِهِ فَإِنَّهُمْ لَنْ يُخْرِجُوكُمْ بَابَ هُدًي وَ لَنْ يُدْخِلُوكُمْ بَابَ ضَلاَلَةٍ.

“Siapa yang ingin hidup seperti hidupku, wafat seperti wafatku, serta masuk ke surga seperti yang dijanjikan oleh Tuhanku yaitu jannatul khuld, maka hendaklah ia berwilayah kepada Ali dan keturunan sesudahnya, karena sungguh mereka tidak akan mengeluarkan kamu dari pintu petunjuk dan tidak akan memasukkan kamu ke pintu kesesatan!” [Imam Bukhari, Kitab Shahih Bukhari, Jilid 5, Hal 65, cet. Darul Fikr; Jilid 5, Hal 159, cet. Mathabi Asy-Sya’b; Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim, Jilid 2, Hal 51, cet. al-Halabi; Jilid 5, Hal 119, cet. Syirkah al-I’lanat; Imam Adz-Dzahabi, Kitab Mizanul I’tidal, Jilid 4, Hal 415, cet. Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah; Al-Khawarizmi, Kitab al-Manaqib, Hal 34; Al-Qundusi al-Hanafi, Kitab Yanabi’ul Mawaddah, Hal 149, cet. al-Haidariyah; Ibnu Hajar al-Asqalani, Kitab al-Ishabah, Jilid 1, Hal 541, cet. Mushthafa Muhammad]

Rasulullah SAW bersabda:

“Wahai Ali, seandainya seorang hamba beribadah kepada Allah SWT seperti yang dilakukan oleh nabi Nuh as di tengah – tengah kaumnya dan ia memiliki emas sebanyak gunung uhud lalu dinfakkannya di jalan Allah dan ia dipanjangkan umurnya sampai dapat menunaikkan ibadah haji selama seribu tahun dengan berjalan kaki, kemudian ia terbunuh antara shafa dan marwah dalam keadaan dianiaya, namun ia tidak menjadikan engkau sebagai pemimpinnya, niscaya orang itu tidak akan mencium bau surga dan tidak akan memasukinya.” [Al-Khawarizmi, Kitab al-Manaqib, Hal 39]

Sungguh mengherankan bahwa hadits tersebut diatas ternyata adalah hadits dari ahlussunnah, bukan hadits dari syiah! Adapun pendapat syiah sendiri menganggap bahwa ahlussunnah adalah kaum muslimin yang bisa juga memasuki surga-Nya.

Lisan dari imam Ali as sendiri:

عن سعيد بن وهب وعن زيد بن يثيع قالا نشد على الناس في الرحبة من سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم الا قام قال فقام من قبل سعيد ستة ومن قبل زيد ستة فشهدوا انهم سمعوا رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لعلي رضي الله عنه يوم غدير خم أليس الله أولى بالمؤمنين قالوا بلى قال اللهم من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه

“Dari Sa’id bin Wahb dan Zaid bin Yutsa’ keduanya berkata: ‘Ali pernah meminta kesaksian orang-orang di tanah lapang: ‘Siapa yang telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada hari Ghadir Khum maka berdirilah!’ Enam orang dari arah Sa’id pun berdiri dan enam orang lainnya dari arah Za’id juga berdiri. Mereka bersaksi bahwa sesungguhnya mereka pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Ali di Ghadir Khum: ‘Bukankah Allah lebih berhak terhadap kaum mukminin’, Mereka menjawab: ‘benar’, Beliau bersabda: ‘Ya Allah barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya’.” [Imam Ahmad bin Hanbal, Kitab al-Musnad, 1/118, No 950. Dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir]

عن أبي الطفيل قال جمع علي رضي الله تعالى عنه الناس في الرحبة ثم قال لهم أنشد الله كل امرئ مسلم سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم ما سمع لما قام فقام ثلاثون من الناس وقال أبو نعيم فقام ناس كثير فشهدوا حين أخذه بيده فقال للناس أتعلمون انى أولى بالمؤمنين من أنفسهم قالوا نعم يا رسول الله قال من كنت مولاه فهذا مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه قال فخرجت وكأن في نفسي شيئا فلقيت زيد بن أرقم فقلت له انى سمعت عليا رضي الله تعالى عنه يقول كذا وكذا قال فما تنكر قد سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ذلك له

“Dari Abu Thufail yang berkata: ‘Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berkata: ‘Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah didengarnya’. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari mereka. Abu Nu’aim berkata: ‘kemudian berdirilah banyak orang dan memberi kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan bersabda kepada manusia: ‘Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih berhak atas kaum mukmin lebih dari diri mereka sendiri?’. Para sahabat menjawab: ‘benar ya Rasulullah!’. Beliau bersabda: ‘barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya.’ Abu Thufail berkata: ‘ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya: ‘sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata: ‘Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti itu tentangnya!’.” [Imam Ahmad bin Hanbal, Kitab al-Musnad, 4/370, No 19321, dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 88 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini]

Selain itu, bahkan terjadi hal yang mengenaskan:
“Pada awal masa kekhalifahannya, Ali bin Abi Thalib mengumpulkan para sahabat di pekarangan masjid. Di hadapan para sahabat, Ali meminta kesaksian:‘Aku menghimbau, demi Allah, barangsiapa di antara kalian yang mendengar apa yang diucapkan Rasulullah SAW pada peristiwa Ghadir Khum agar berdiri dan memberi kesaksiannya mengenai apa yang telah didengarnya. Jangan berdiri, bila pada saat itu benar – benar tidak menyaksikan Rasulullah SAW dengan kedua matanya dan mendengar ucapan beliau dengan kedua telinganya!’ Berdirilah 30 orang sahabat, 12 di antaranya adalah para pejuang Badar. Mereka memberikan kesaksian bahwa Rasulullah SAW telah mengangkat lengan Ali sambil bersabda: ‘Bukankah kalian semua mengetahui bahwa diriku adalah yang paling utama menjadi wali kamu, lebih dari dirimu sendiri?’ Mereka menjawab: ‘Benar!’ Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengakui aku sebagai maulanya, inilah (Ali) maulanya juga! Ya Allah, cintailah siapa yang memperwalikannya dan musuhilah siapa yang memusuhinya!’. Mengetahui Anas bin Malik yang ikut berkumpul di pekarangan masjid tidak turut berdiri memberi kesaksian, Ali bertanya kepadanya: ‘Mengapa Anda tidak berdiri bersama sahabat lainnya dan memberikan kesaksian tentang apa yang Anda dengar waktu itu?’ Anas menjawab: ‘Usiaku telah lanjut dan aku telah lupa.’Ali menjawab: ‘Baiklah, jika ucapanmu itu bohong, semoga Allah menimpakan penyakit belang atas tubuhmu hingga tidak tertutup oleh sorbanmu!’ Tidak lama kemudian Anas terkena tulah, penyakit belang meliputi seluruh wajahnya. Anas menyesali dirinya: ‘Aku terkutuk oleh doa hamba Allah yang saleh itu!’.” [Ibnu Qutaibah ad Dairuni, Kitab al-Maarif, Hal 194]

Oleh Ahmad bin Hanbal mengomentari peristiwa dalam pekarangan masjid tersebut dengan kalimat singkat:
“Maka bangkitlah mereka kecuali tiga orang yang tidak mau berdiri. Ketiganya telah terkena doa kutukan Ali.” [Ahmad bin Hanbal, Kitab al-Musnad, Jilid 1, Hal 119 atau No 918; ada juga di No 1242, 17749, 18497, 21867, 21883, 21950, 21979, 22028, 22062]

Selain dari lisan imam Ali as sendiri, ada juga lisan dari putra tercintanya yaitu imam Husein as. Ketika itu imam Husein as menyampaikan pidatonya di hadapan pasukan Hurr bin Yazid dan shalat bersama kafilah di Syaraf, beliau as berkata:

2

(Screenshoot Kitab al-Kamil fi al-Tarikh, Jilid 4, Hal 47)

“Amma ba’ad, wahai manusia jika kalian bertakwa kepada Allah dan mengenal kebenaran pada ahlinya, maka hal itu akan mendatangkan keridhaan Allah. Dan kami Ahlulbait lebih utama atas kepemimpinan urusan ini ketimbang mereka yang mendakwa sesuatu yang bukan hak mereka dan berlaku buruk di tengah – tengah kalian dengan ketidakadilan dan pelanggaran. Namun jika kalian enggan untuk mengakui serta mengabaikan hak kami, dan sikap kalian tidak lagi seperti yang tertulis di surat – surat kalian dan yang dikatakan oleh utusan – utusan kalian, maka aku berpaling dari kalian!” [Ibnu al-Atsir, Kitab al-Kamil fi al-Tarikh, Jilid 4, Hal 47, Bab ثم دخلت سنة إحدى وستين (Dar Shadir dan Dar Beirut, 1385 H/ 1965 M]

Terakhir dari saya, ini sebagai perenungan. Dalam rujukan kitab ahlussunnah sendiri, ternyata imam Ali as dan syiahnya adalah sebaik – baiknya makhluk! Ulama Ahlussunnah, Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab tafsirnya, Ad-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur pada jilid 15 ketika menafsirkan ayat Khairul Bariyah, menuliskan:

62

(Screenshoot Kitab ad-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur, Jilid 15, Tafsir QS al-Bayyinah ayat 7, Hal 577)

“Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Asakir, dari Jabir bin Abdullah yang berkata: ‘Ketika kami bersama Nabi SAW, lalu bertemu dengan Ali, kemudian Nabi SAW bersabda: ‘Demi Dzat yang menguasai jiwaku, dia (Ali) dan syiahnya adalah orang-orang yang menang di hari kiamat!.’ Kemudian turunlah ayat: ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh adalah sebaik-baik makhluk! (Surah al-Bayyinah ayat ke-7)’. Maka ketika itu, apabila Ali datang di tengah-tengah para sahabat, mereka berkata: ‘Sungguh, telah datang sebaik-baik makhluk.’” [Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Kitab ad-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur, Jilid 15, Tafsir Surah al-Bayyinah ayat 7, Hal 577, Tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, Terbitan Markaz Hijr lil Buhuts wa ad-Dirasat al-Arabiyah wa al-Islamiyah]

4. KISAH KELAM KELUARGA NABI SAW YANG LAINNYA

Tak hanya sayyidah Fatimah az-Zahra as, kisah kelam juga dialami oleh keluarga nabi SAW yang lainnya, yakni suaminya; imam Ali bin Abi Thalib as dan kedua anaknya; Hasan as dan Husein as.

Banyak hal yang dapat diceritakan setelah wafatnya sayyidah Fatimah az-Zahra as. Namun ceritanya kita lompat saja ketika Utsman bin Affan menjadi khalifah.

Saya ingin menceritakan terlebih dahulu bagaimana Utsman bin Affan bisa terpilih sebagai khalifah. Hal ini tak lepas dari rencana picik Umar bin Khaththab. Umar telah merencanakan secara matang agar imam Ali as tak menjadi khalifah penggantinya, yakni dengan membuat persyaratan yang dinilainya tidak akan disetujui oleh imam Ali as sendiri, yaitu khalifah terpilih diwajibkan meneruskan sunnah kedua khalifah sebelumnya (Abu Bakar dan Umar). Ternyata dugaan Umar tersebut benar, diantara ke enam calon khalifah, tersisalah 2 besar calonnya, yang pertama adalah imam Ali as, dan yang kedua adalah Utsman. Abdurrahman bin Auf sebagai tangan kanannya Umar, bertanya kepada imam Ali as terkait dengan persetujuan syarat tersebut, imam Ali as tegas menolaknya dengan berkata: “Saya hanya akan mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW serta Ijtihadku sendiri!” [Khalid Muhammad Khalid, Kitab Khulafa al-Rasul, Hal 272, Edisi 8]. Setelah itu giliran Abdurrahman bin Auf yang bertanya kepada Utsman terkait dengan persetujuan syarat tersebut, lalu Utsman menerimanya, sehingga dialah yang akhirnya terpilih menjadi khalifah. Imam Ali as dan Bani Hasyim tidak puas dengan hasil ketetapan itu, karena menilai bahwa Abdurrahman bin Auf sebagai ketua Dewan Syuro telah berlaku nepotisme sedari awal. Dari kejadian tersebut seharusnya kaum muslimin mau untuk berpikir kritis, apakah sunnah Abu Bakar dan Umar itu bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW, sehingga membuat imam Ali as dengan tegas menolaknya?!

4.1 Imam Ali as dituduh sebagai pembunuh Utsman bin Affan [Kembali]

Orang – orang dimasa ini banyak berkata bahwa Utsman bin Affan adalah khalifah yang kaya raya, bahkan konon, kekayaannya masih melimpah ruah tersimpan hingga kini, tapi dibalik itu semua, tahukah anda, dalam sejarah yang ditulis oleh pihak ahlussunnah sendiri, ternyata Utsman seringkali bertindak nepotis dengan mengangkat para gubernur dari kalangan kerabatnya. Selain itu, bahkan Utsman seringkali memberikan uang dengan jumlah sangat banyak yang berasal dari Baitul Mal untuk diberikan kepada kalangan kerabatnya itu, misalnya:

Kepada Al-Hakam bin Abil Ash, tokoh munafik yang telah diusir keluar dari Madinah oleh nabi Muhammad SAW, ditarik kembali oleh Utsman ke Madinah, juga diberikan bantuan 300.000 dirham dari Baitul Mal. [Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Kitab Ansab al-Asyraf, Jilid 5, Hal 27-28, 125]

Kepada Al-Walid bin Uqbah, yang disebut munafik dalam al-Quran, oleh Utsman diberi 100.000 dirham dari Baitul Mal. [Ahmad bin Muhammad bin Abd Rabbih, Kitab al-Iqd al-Farid, Jilid 3, Hal 94]

Kepada Marwan bin al-Hakam, menantunya Utsman, Utsman memberinya 100.000 dirham dari Baitul Mal. [Abil Hadid, Kitab Syarh Ibn Abil Hadid, Jilid 1, Hal 198-199]; juga diberi khumus dari Afrika senilai 500.000 dinar. Tanah Fadak juga yang merupakan hak milik Ahlulbait diberikan oleh Utsman kepadanya sebagai bentuk penghargaan pemerintah. [Ibn Qutaibah, Kitab al-Maarif, Hal 84]

Kepada Harits bin al-Hakam, menantunya Utsman, Utsman memberinya 100.000 dinar dari Baitul Mal. [Abil Hadid, Kitab Syarh Ibn Abil Hadid, Jilid 1, Hal 198]; juga Mahzur, sebuah lokasi di area komersial Madinah, yang dinyatakan sebagai amanat publik oleh nabi Muhammad SAW, diberikan oleh Utsman kepadanya. [Ibn Qutaibah, Kitab al-Maarif, Hal 84]

Kepada Abdullah bin Khalid, Utsman memberinya 400.000 dirham dari Baitul Mal. [Ibn Qutaibah, Kitab al-Maarif, Hal 84]

Suatu area padang rumput sekitar Madinah, dikhususkan oleh Utsman hanya untuk unta – unta milik Bani Umayah yang dibolehkan merumput. [Abil Hadid, Syarh Ibn Abil Hadid, Jilid 1, Hal 199]

Mungkin masih banyak lagi orang – orang yang diberikan oleh Utsman dari harta baitul mal, tapi tidak perlu juga saya paparkan semuanya.

Baitul Mal adalah kas negara, bukan hak yang dimiliki oleh khalifah sebagai kepala negara, sehingga tentu saja mengambil uang semaunya dari baitul mal adalah tindakan yang haram dan ilegal! Setiap khalifah mendapatkan gaji dari baitul mal, gaji Umar bin Khaththab sebesar 6.000 dirham (atau Rp 25.036.237)/tahun [Imam Baihaqi, Kitab Ma’rifah al-Sunan Wa al-Atsar, 9/295] setara dengan gaji Utsman bin Affan ketika menjadi khalifah [Abdul Mun’im al-Hanafi, Kitab Mawsu’atu Ummil Mu’minin Aisyah, Hal 843]. Jika kita pernah membaca bahwa Utsman selama menjabat jadi khalifah tidak pernah mengambil gajinya, maka itu hal yang kontradiksi jika dikaitkan dengan bukti – bukti diatas, terlebih, untuk apa gajinya yang kecil itu diambil jika dia bisa dengan semaunya mengambil dari baitul mal?! Ada juga yang menyatakan bahwa Utsman sebelum menjadi khalifah sudah kaya raya karena menjadi pedagang sukses di Madinah. Saya tidak tahu kebenarannya, karena terdapat pula pernyataan yang sebaliknya, dimana justru Utsman sekembalinya hijrah dari habasyah, dia tak memiliki apapun kecuali hanya sehelai pakaian yang melekat ditubuhnya. Wallaahu a’lam.

Anda pasti tercengang jika tahu seberapa fantastisnya total kekayaan Utsman bin Affan dan para kerabatnya. Untuk itu mari kita paparkan untuk mengasah logika.

Kekayaan Utsman bin Affan setelah meninggal berupa 150.000 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas, 1 gram emas = Rp 1.001.261 dari sumber https://harga-emas.org berarti 1 dinar = Rp 4.255.359, artinya 150.000 dinar x Rp 4.255.359 = Rp 638.303.850.000) dan 1.000.000 dirham ditemukan di rumahnya, bahkan tanah – tanah yang bebas pajak tak ada batasnya. Selain itu, nilai total aset yang dimiliki Utsman di Wadi al-Qura dan Hunain adalah 100.000 dinar (Rp 425.535.900.000). Onta dan kuda tak terhitung banyaknya. [Muruj adz-Dzahabi, Jilid 1, Hal 435]

Ada lagi dari sumber lain yang tak kalah mencengangkannya. Nilai kekayaan Utsman bin Affan mencapai  Rp 2.532.942.750.000, tapi nilainya ini bisa jadi lebih kecil dari nilai kekayaan yang sesungguhnya mengingat jumlah tersebut belum mencakup aset – aset dan lainnya termasuk pembelian sumur di rumah sekitar 5 km dari Masjid Nabawi yang senilai 35.000 Dirham. [Imam At-Thabarani, Kitab al-Mu’jam al-Kabir, Juz 2, Hal 41 atau 1227]

Kekayaan Abdurrahman bin Auf mencapai Rp. 6.212.688.000.000. Ketika wafat meninggalkan 1.000 ekor unta, 100 ekor kuda, dan 3.000 ekor kambing. [Ibnu Katsir, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, Juz 7, Hal 184]

Kekayaan Zubair bin al-Awwam berupa aset tidak bergerak (tanah), diantaranya yang berada di Ghabah (wilayah di barat laut Madinah, sekitar 6 km dari Madinah), 11 rumah di Madinah, 2 rumah di Bashrah, Mesir, Kufah, Alexandria, 1000 kuda dan 1000 budak. Nilai kekayaan saat wafatnya jika ditotal mencapai Rp 3.543.724.800.000. [Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 3, Hal 1137]

Kekayaan Umar bin Khaththab Mewariskan 70.000 properti (ladang pertanian) seharga @ 160juta (total Rp 11,2 Triliun). Cash flow per bulan dari properti = 70.000 x 40 jt = 2,8 Triliun/tahun atau Rp 233 Miliar/bulan. Belum lagi simpanan (hutang) dalam bentuk tunai. [Jaribah Bin Ahmad Al-Haritsi, Kitab al-Fiqh al-Iqtishadi Li Umar Ibn al-Khaththab, Hal 44 dan 99]

Kekayaan Thalhah bin Ubaidillah Rp 542.100.500.000. Perputaran uang yang dimilikinya 1.000 dinar/hari dari usaha di Iraq, dan lebih lagi dari as-Sirrah (Yaman). Thalhah juga membangun rumah di Kufah, merenovasi rumah di Madinah dengan plester, batu bata dan kayu berlapis (sesuatu yang sangat mewah dijamannya). Ada lagi dari sumber lain dikatakan bahwa kekayaan Thalhah baik tunai dan non-tunai saat wafat mencapai 30.000.000 Dirham atau setara dengan Rp 1.845.690.000.000 [Ibnu Sa’ad, Kitab ath-Thabaqat al-Kubra, Juz 3, Hal 222]

Kekayaan Sa’ad bin Abi Waqqash seperti dilansir dari website MUI, saat wafat Rp 15.380.750.000 dan membangun Rumah bertingkat serta luas halamannya dengan bangunan mahal yang terbuat dari bahan batu akik.

Sebagian sejarah mencatat bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash meninggal di Canton selatan China sebagai saudagar kaya. Sebagian mngatakan di baqi madina. [Ibnu Katsir, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, Juz 8, Hal 84]

Berpikirlah, mungkinkah dijaman itu yang belum terdapat teknologi canggih seperti transportasi mesin, komputer dalam mengelola data, dan lain – lain, alias masih serba manual dan berkendara masih memakai unta, para sahabat dapat mempunyai harta kekayaan sefantastis itu? Di Indonesia saja yang sekarang  jamannya sudah serba modern, dimasa pesatnya teknologi informasi dan industri, yang punya harta diatas Rp 1 Triliun tak sampai 1% penduduknya, bayangkan itu!

Tak hanya bertindak nepotis dan korup, Utsman bin Affan juga bertindak zhalim kepada banyak para sahabat nabi SAW. Misalnya saja terhadap Abu Dzar al-Ghifari dibuang oleh Utsman ke gurun gersang Rabadhah sampai akhirnya meninggal disana dalam keadaan terasing. Amar bin Yasir yang menyerahkan surat protes dari sejumlah sahabat Nabi SAW atas segala penyelewengan khalifah Utsman, juga disiksa olehnya hingga pingsan hingga tulang rusuknya patah dan menderita hernia. Abdullah bin Mas’ud diusir dari Kufah atas perintah Utsman. Selama 3 tahun di Kufah haknya dari baitul mal dirampas olehnya. Banyak sahabat lain yang diusir Usman ke pengasingan antara lain: Malik Asytar, Zaid, Sha’sha’a bin Shuhan, Syuraih bin Aufi, Hurqush bin Juhair, Jundab bin Juhair, Adi bin Hatim, Kinam bin Hadzri, Ka’ab bin Abada, Malik bin Habib, dan lain – lain [Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Kitab Ansab al-Asyraf, Jilid 4, Hal 39-43].

Semua tindakan buruk khalifah Utsman bin Affan tersebut pada akhirnya menuai kritikan tajam dari kaum muslimin sehingga terjadi pemberontakan yang akhirnya dapat melengserkan bahkan membunuhnya.

Sejarah kisah pembunuhan Utsman bin Affan dimasa kini lebih cenderung diwarnai dengan fitnah, khususnya ditargetkan kepada pihak syiah, dimana para pemfitnah itu berkata bahwa pembunuhan Utsman bin Affan akibat adu domba oleh seorang yahudi yang berpura – pura masuk islam yang bernama Abdullah bin Saba. Mari gunakan akal sehat anda, mungkinkah seorang yang baru saja (pura – pura) masuk islam, dimana dia belum punya pemahaman islam yang mumpuni, bukan orang besar dan tidak populer di masyarakat, tapi mampu menciptakan makar sebegitu besarnya tersebut? Jika demikian, maka secara tidak langsung kita telah menuduh bahwa para sahabat itu gampang dibodohi! Yang mengherankan lagi, setelah usaha kerasnya menciptakan makar tersebut, namanya tidak pernah muncul lagi dalam sejarah baik pada perang shiffin dan unta, kemanakah dia? Hal ini cukup membingungkan para sejarawan ahlussunnah/sunni.

Jika kita mau mencari tahu, sebenarnya pembunuhan Utsman bin Affan itu tidak lepas dari peran para sahabat dan istri nabi SAW, dan itu bersumber dari sejarah ahlussunnah sendiri. Untuk itu saya jelaskan atas peristiwa tersebut.

Aisyah adalah orang yang sangat membenci ahlulbait nabi SAW (Ali, Fatimah, Hasan dan Husein). Dengan kebencian yang tak mendasar kepada imam Ali bin Abi Thalib as, Aisyah sangat murka mendengar kabar bahwa imam Ali as menjadi khalifah pengganti Utsman, lantas dia tega menuduh bahwa imam Ali as lah sebagai dalang dibalik pembunuhan Utsman bin Affan, dengan kedudukan besarnya sebagai mantan istri nabi SAW dia berhasil meyakinkan sebagian umat islam atas tuduhan kejinya tersebut, sehingga akhirnya banyak orang yang menuduh imam Ali as dan memeranginya, seperti pada perang jamal. Tak semua orang dapat dihasud, sebagian orang mau berpikir dan pada akhirnya sadar bahwa itu hanyalah fitnah. Seperti halnya pada kisah dibawah ini:

4

(Screenshoot Kitab Tarikh ath-Thabari, Jilid 5, Hal 417)

Azrah (tentara Yazid) menghampiri Zuhair bin Qayn setelah melihatnya dengan Tentara imam Husein as. Azrah berkata: Oh Zuhair, kamu bukan Syiah ahlulbait, kamu adalah pengikut Utsman. Zuhair Ibn Qayn menjawab: sekarang aku berada di sisi ini, kamu harus tahu siapa pengikutku!’” [Imam ath-Thabari, Kitab Tarikh ath-Thabari, Jilid 5, Hal 417]

Jadi ceritanya Zuhair bin Qayn adalah pembela Utsman bin Affan, ia terhasud tuduhan bahwa imam Ali as beserta kedua putranya yakni imam Husein as dan imam Hasan as adalah para pembunuh Utsman bin Affan, tetapi akhirnya setelah imam Husein as berbicara dengannya dan menjelaskan segalanya, Zuhair menyadari kesalahannya lalu bertobat dan menjadi syiah hanya beberapa hari sebelum peristiwa asyura. Dia adalah salah satu martir Karbala.

Berikut ini saya coba sajikan bukti – bukti dari riwayat ahlussunnah terkait kebenaran sejarah bahwa Aisyahlah yang menjadi penyebab terbunuhnya Utsman:

Aisyah bertengkar dengan Utsman bin Affan karena persoalan gaji Baitul Mal.

36

(Screenshoot Kitab al-Mahshul fii ‘Ilmil Ushul, Juz 2, Hal 150)

“Utsman bin Affan pernah terlambat dalam memberikan gaji (dari Baitul Mal) untuk Aisyah. Aisyah lantas marah kepada Utsman bin Affan dan berkata: ‘Wahai Utsman engkau telah menyelewengkan jabatanmu, menzalimi rakyatmu dan menugaskan orang-orang buruk dari keluargamu (Bani Umayyah). Kalau bukan karena salat lima waktu, akan datang kaum mengerti atas kezalimanmu yang akan menyembelihmu layaknya unta disembelih!’ Kemudian Utsman bin Affan menjawab Aisyah dengan menggunakan ayat al-Qur’an yang artinya: (Allah memberikan perumpamaan bagi orang-orang kafir: istrinya Nuh dan istrinya Luth). Lalu Aisyah pun memprovokasi massa dengan sekuat tenaga untuk menggulingkannya dengan mengatakan: ‘Wahai umat Islam, ini adalah baju Nabi Muhammad SAW yang belum pernah terkotori sama sekali. Sungguh malangnya, sekarang sunnah Nabi malah telah dikotori olehnya (Utsman bin Affan). Saya perintahkan kalian untuk membunuh Na’tsal (Aisyah menyebut Utsman sebagai Na’tsal). Semoga Allah membunuh Na’tsal!’ Kemudian Aisyah pergi ke Mekkah untuk berhaji dan setelah selesai dan dalam perjalanan pulang ke Madinah, ia mendapat informasi tentang kematian Utsman bin Affan. Lantas Aisyah bertanya: ‘Ada informasi lagi?’ Pemberi informasi menjawab: ‘Orang-orang telah membaiat Ali sebagai khalifah.’ Aisyah kemudian berkata: ‘Utsman telah dibunuh secara zalim. Demi Allah aku akan menuntut keadilan untuknya. Demi Allah, sehari dipimpin Utsman lebih baik daripada seribu tahun dipimpin Ali!’ Abid ibnu Ummi Kilab kemudian menanyakan kepada Aisyah: ‘Mengapa engkau berkata seperti itu wahai Ummul Mukminin? Aku yakin tidak ada makhluk di antara langit dan bumi ini yang lebih mulia daripada Ali. Mengapa engkau tidak suka kepemimpinanya? Dulu engkau memerintahkan kami: bunuhlah Na’tsal (Utsman) karena dia telah kafir (dalam riwayat lain telah berbuat zalim).’ Aisyah kemudian menjawab: ‘Betul saya dulu menyuruh demikian namun sekarang saya tarik pandangan saya itu. Demi Allah, aku akan menuntut balas atas kematiannya!’ Abid ibnu Ummi Kilab menimpali: ‘Sungguh Ummul Mukminin sangat labil.’” [Imam Fakhruddin ar-Razi, Kitab al-Mahshul fii ‘Ilmil Ushul, Juz 2, Hal 150, Penerbit Darul Kutub al-Ilmiyah]

Pada sumber yang lainpun kurang lebihnya sama, dimana Aisyah menyebut Utsman bin Affan dengan sebutan Na’tsal (si tua bodoh), mengkafirkannya bahkan menyuruh orang – orang untuk membunuhnya, Aisyah berkata:

اقتلوا نَعْثَلافقد كفر

“Bunuhlah si Na’tsal (Utsman bin Affan) itu sesungguhnya ia telah kafir!” [Tarikh ath-Thabari, 4/477; Ibnu al-Atsir, al-Kamil, 3/87; an-Nihayah, 4/156]

Kemudian lagi perkataan dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash dibawah ini:

“Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan: ‘Utsman dibunuh dengan pedang – pedang Aisyah!’” [Tarikh al-Madinah al-Munawwarah, Jilid 3, Hal 1173, 1174]

Bahkan tak hanya telah membunuh Utsman bin Affan, Aisyah juga berencana membunuh imam Ali as! Al-Baladzuri menceritakan:

“Ahmad bin Ibrahim ar-Daruqi mengatakan kepadaku: Abu Nadr mengatakan kepada kami: Ishaq bin Sa’id mengatakan kepada kami, dari Umar bin Sa’id, Sa’id bin Amr mengatakan kepadaku, dari Ibnu Hatib yang mengatakan: ‘Aku pergi bersama Ali pada hari (perang) unta ke houdah (di mana Aisyah berada), dan itu tampak seperti landak dengan bulu karena semua anak panah. Dia (Imam Ali as) memukul di houdah lalu berkata: ‘Sesungguhnya Humairah ini (nama panggilan Aisyah) ingin membunuhku saat dia membunuh Utsman bin Affan!’, Saudaranya Muhammad berkata kepadanya: ‘Apakah sesuatu terjadi padamu?’ Dia berkata: ‘Sebuah panah di lengan saya. Dia memasukkan kepalanya ke dalam (houdah), lalu menariknya ke arah dia, lalu mengeluarkannya.’” [Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Kitab Ansab al-Ashraf, Jilid 2, Hal 139]

Aisyah tak hanya benci kepada ahlulbait nabi SAW, diapun mungkin telah mengacak – acak sunnah dengan atas nama nabi Muhammad SAW, karena terdapat hal kontroversial dari pernyataannya yang justru bertolak belakang dengan hukum syara, sehingga mayoritas para ulama sunnipun sepakat tidak membenarkan pernyataannya dan menyembunyikannya dari publik. Hal ini terkait hukum bisanya menyusui orang dewasa menjadi muhrim. Berikut ini haditsnya:

عن عائشة ؛ قالت: جاءت سهلة بنت سهيل إلى النبي صلى الله عليه وسلم. فقالت : يا رسول الله ! إني أرى في وجه أبي حذيفة من دخول سالم (وهو حليفه). فقال النبي صلى الله عليه وسلم : ” أرضعيه ” قالت: وكيف أرضع ؟ وهو رجل كبير. فتبسم رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال : ” قد علمت أنه رجل كبير”.

Dari Aisyah ia berkata: ‘Telah datang Sahlah binti Suhail kepada Nabi shallallaahu alaihi wa sallam. Ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah melihat ketidaksenangan pada wajah Abu Hudzaifah dengan masuknya Salim’. Maka Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: ‘Susuilah dia!’. Sahlah berkata: ‘Bagaimana aku menyusuinya, padahal ia seorang laki-laki yang telah besar/dewasa?’ Maka Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam tersenyum dan bersabda: ‘Sungguh aku telah tahu bahwa ia laki-laki yang telah besar’” [Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim, No 1453; No 2636; No 2640]

Para ulama sunni berselisih dalam pengambilan hukum atas hadits penyusuan kepada orang dewasa tersebut. Ada yang bependapat bahwa hukum ini hanya dikhususkan kepada Salim saja, ada juga yang berpendapat bahwa hadits ini telah mansukh (terhapus), ada juga yang berpendapat bahwa hukum ini berlaku secara umum untuk semua orang yang keadaannya seperti Salim dan Sahlah. Pendapat terakhir inilah yang rajih dan juga sependapat dengan Ibnu Taimiyah.

Selain itu, kata Aisyah hukum menyusui orang dewasa ini bahkan tertera dalam al-Qur’an, namun sayang penggalan ayat tersebut dimakan oleh rayap, sehingga hal inipun menunjukkan telah berlaku tahrif al-Qur’an dalam sunni. Ini haditsnya:

55

(Screenshoot Kitab Musnad Ahmad, Juz 18, Hal 188-189, Hadits No 26194)

“Telah menceritakan kepada kami Ya’qub yang berkata, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaq yang berkata, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, dari Amrah binti Abdurrahman, dari Aisyah istri Nabi SAW yang berkata: ‘Sungguh, telah turun ayat rajam dan menyusui orang dewasa itu sepuluh kali. Hal itu terdapat di lembaran kertas di bawah tempat tidur di rumahku. Ketika Rasulullah SAW sakit dan kami disibukkan olehnya, rayap masuk ke rumah kami dan memakan lembaran kertas itu.’” [Imam Ahmad bin Hanbal, Kitab Musnad Ahmad, Juz 18, Hal 188-189, Hadits No 26194, Terbitan Darul Hadis Kairo, Tahqiq Syaikh Hamzah Ahmad Zain, beliau berkata bahwa hadis ini shahih!]

Hadits menyusui orang dewasa ini telah menjadi kontroversi di penjuru dunia islam. Seperti di Arab Saudi, para wanita disana mengeluhkan aturan tidak boleh satu ruangan dengan lawan jenis kecuali ada hubungan darah dan mereka juga tidak dapat membawa mobil mereka sendiri. Sekelompok wanita Arab Saudi sudah lelah dengan larangan ini dan mengancam untuk memberlakukan fatwa mengenai menyusui pria dewasa kecuali mereka diizinkan untuk menyetir. Mereka berkata: “Biarkan Kami Mengendarai Atau Kami Akan Menyusui Supir Kami!”. Penasehat Hukum di Departemen Kehakiman Arab Saudi, Sheikh Abdul Mohsin Bin Nasser al-Obaikan menyatakan bahwa supir dapat berinterakasi bebas dengan seluruh anggota keluarga majikannya tanpa melanggar hukum Saudi Arabia jika mereka disusui oleh wanita yang memperkerjakan mereka. Dia mengatakan: “Seorang perempuan dapat menyusui pria dewasa sehingga ia menjadi anaknya. Dengan demikian ia dapat berinterkasi dengan seluruh wanita dalam rumah majikannya tanpa melanggar hukum Islam.” Ada lagi di Mesir, yaitu Dr Izzat Atiya dari Universitas al-Azhar menawarkan jalan keluar dari pemisahan jenis kelamin di tempat kerja, yaitu dengan cara menyusuinya. Hal ini membuat gempar dinegaranya, sehingga Presiden al-Azhar mengecam fatwa tersebut yang kemudian terpaksa dicabut oleh Dr Atiya, karena dianggap mencemarkan Islam.

Sungguh sangat memalukan, karena orang – orang sunni anti syiah terlalu sibuk memprotes kebolehan nikah mut’ah oleh syiah, tapi mereka lupa dengan hadits shohih dari sumber mereka sendiri yang menyatakan boleh menyusui orang dewasa agar menjadi muhrim! Ibaratnya mereka melempar batu ke rumah orang yang terbuat dari tembok, padahal rumah mereka sendiri terbuat dari kaca! Nikah mut’ah sebenarnya terdapat pula kebolehannya di referensi sunni, telah saya paparkan secara detail di tulisan saya yang berjudul Tabayyun Kepada Syiah pada poin nomor 2. Adapun dalil – dalil larangannya pada sumber sunni, sungguh membingungkan jika kita mau mencari tahu, karena dalam referensi sunni itu sampai berulang status hukumnya, yakni dihalalkan 7 kali, diharamkan 7 kali, yaitu pada Peperangan Khaibar, Hunain, Umra al-Qadha, tahun pembukaan Mekah, tahun Autas, Peperangan Tabuk dan semasa Haji Wida. [al-Jassas, Kitab Ahkam al-Qur’an, II, Hal 183; Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim, I, Hal 394; Ibnu Hajar, Kitab Fath al-Bari, IX, Hal 138; al-Zurqani, Kitab Syarh al-Muwaththa, Hal 24]

ﻭﻗﺎﻝ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻤﻦ ﺟﻤﻊ ﻃﺮﻕ ﺍﻻﺣﺎﺩﻳﺚ ﻓﻴﻬﺎ : ﺇﻧﻬﺎ ﺗﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﺘﺤﻠﻴﻞ

ﻭﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ﺳﺒﻊ ﻣﺮﺍﺕ

“Lainnya (Ulama) yang telah mengumpulkan jalur periwayatan mengatakan ‘(mut’ah) halal dan haram sampai 7 kali.” [Imam al-Qurthubi, Kitab Tafsir al-Qurthubi, Vol 5, Hal 130]

Ibnu Qoyyim berkata:

ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ﺯﻣﻦ ﺧﻴﺒﺮ ﻟﺰﻡ ﺍﻟﻨﺴﺦ ﻣﺮﺗﻴﻦ ﻭﻫﺬﺍ ﻻ ﻋﻬﺪ

ﺑﻤﺜﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﺍﻟﺒﺘﺔ ﻭﻻ ﻳﻘﻊ ﻣﺜﻠﻪ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﺃﻳﻀﺎ

“..Dan jika larangan Mut’ah berlangsung di Khaibar, itu berarti bahwa larangan itu terjadi 2 kali, tetapi ini adalah sesuatu yang tidak mungkin karena kita tidak menemukan contoh lainnya dalam syari’ah, sebenarnya tidak dapat terjadi dalam syari’ah!” [Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Kitab Zaad-l-Ma’aad, Vol 1, Hal 442]

Imam Syafi’i berkata:

“Aku tidak tahu dalam islam yang halal pada satu kejadian lalu menjadi haram lalu menjadi halal dan lalu haram lagi kecuali mut’ah. Beberapa Ulama mengatakan bahwa hal itu dirubah pada tiga kejadian. Yang lainnya mengatakan lebih.” [Qadhi Thanaullah Pani Pati, Kitab Tafsir Mazhari, Hal 572]

Selain memprotes, pihak anti syiahpun tega menyebar fitnah keji bahwa istri orang boleh di mut’ah! Sebenarnya hal ini adalah fitnah kedustaan yang terus di ulang – ulang dari dulu, hal tersebut tidak pernah ada satupun dari sumber syiah, kecuali hanya pemalsuan atau hasil mengarang indah buatan mereka sendiri yang dinisbatkan atas kitab – kitab karya ulama syiah, seperti misalnya yang kata mereka hal tersebut bersumber dari kitab Tahrir al-Wasilah karya sayyid Khomeini, padahal di kitab tersebut justru isinya bertolak belakang dengan apa yang mereka kutip. Ini beberapa buktinya:

مسألة 22 : يجوز تزويج امرأة تدعى أنها خلية من الزوج مع احتمال صدقها من غير فحص حتى فيما إذا كانت ذات بعل سابقا فادعت طلاقها أو موته ، نعم لو كانت متهمة فى دعواها فالاحوط الاولى الفحص عن حالها فمن غاب غيبة منقطة لم يعلم موته و حياته إذا ادعت زوجته حصول العلم لها بموته من الامارات و القرائن و إخبار المخبرين جاز تزويجها و إن لم يحصل العلم بقولها ، و يجوز للوكيل أن يجري العقد عليها إذا لم يعلم كذبها فى دعوى العلم ، و لكن الاحوط الترك خصوصا إذا كانت متهمة .

Masalah 22: “Dibolehkan mengawini wanita yang mengaku sebagai orang yang tidak bersuami kalau dimungkinkan kejujurannya, tanpa wajib mengecek lagi, sekalipun ia dulunya pernah punya suami lalu ia mengaku telah cerai atau ditinggal mati suaminya. Tapi kalau ia itu muttahamah (dicurigai tidak jujur) dalam pengakuannya itu, maka hati-hati, cari tahulah yang sebenarnya. Kalau suaminya ghaib (pergi) dan terputus komunikasinya hingga tidak diketahui mati atau tidaknya, lalu si istrinya mengaku bahwa ia telah yakin tentang kematian suaminya dari tanda-tanda, gejala-gejala dan berita-berita yang telah disampaikan kepadanya, maka boleh mengawininya sekalipun kita sendiri tidak yakin seratus persen dengan perkataannya. Dan boleh juga bagi seorang wakil (yang mewakili wanita tadi untuk melakukan aqad) untuk melakukan aqad untuknya kalau tidak diketahui/terbukti kebohongannya dalam pengakuan ilmu/yakinnya itu. Tapi hati-hati, tetap jangan mengawinkannya kalau ia nampak seperti berdusta.” [Khomeini, Kitab Tahrir al-Wasilah, Jilid 2, Hal 253]

مسألة 24 : إذا ادعت امرأة أنها خلية فتزوجها رجل ثم ادعت بعد ذلك أنها كانت ذات بعل لم تسمع دعواها ، نعم لو أقامت البينة على ذلك فرق بينهما ، و يكفى فى ذلك بأن تشهد بأنها كانت ذات بعل فتزوجت حين كونها كذلك من الثانى من غير لزوم تعيين زوج معين .

Masalah 24: “Kalau seorang wanita mengaku sendiri (tidak punya suami) lalu dikawini oleh seorang lelaki, kemudian ia (si wanita tadi) setelah itu mengaku punya suami, maka pengakuannya ini (yang ke dua) tidak perlu didengar. Tapi kalau ia (si wanita) membawa saksi akan hal itu (atas pengakuannya), maka keduanya harus berpisah. Dan cukuplah dalam hal itu (penyaksiannya si penyaksi itu), bersaksi bahwa ia (wanita tersebut) memiliki suami (pertama) dan ia kawin lagi dengan suami ke duanya dalam keadaan masih demikian (masih sebagai istri dari suami yang pertama), tanpa mesti menyebutkan siapa suami pertamanya.” [Khomeini, Kitab Tahrir al-Wasilah, Jilid 2, Hal 253]

Jadi logika saja, apa mungkin jika seseorang yang sama dalam kitabnya yang sama pula mempunyai isi yang saling bertolak belakang?!

Selain itu, perihal istri orang boleh di nikah mut’ah juga katanya bersumber dari Fatawa 12/432: “Diperbolehkan bagi seorang istri untuk bermut’ah tanpa izin dari suaminya, dan jika mut’ah dengan izin suaminya maka pahala yang akan didapatkan akan lebih sedikit, dengan syarat wajibnya niat bahwasanya ikhlas untuk wajah Allah.” Setelah di klarifikasi, ternyata sumber tersebut hanyalah nukilan referensi palsu dari twitter yang akunnya mencatut nama ulama syiah yakni Muhsin Alu Usfur. Beliau pada situs https://alwatannews.net membantah hal tersebut dengan berkata: “orang-orang zalim mencuri karakter saya di twitter untuk memecah belah barisan kaum muslimin!”.

Hal yang perlu diperhatikan lagi bahwa dalam nikah mut’ah itu terdapat masa iddah, sehingga mana mungkin orang lain dapat menikah mut’ah istri orang? Dan dari hal ini pula, jika nikah mut’ah diamalkan dgn benar, yakni menunggu masa iddah, maka tidak akan pernah ada orang yang terjangkiti penyakit HIV/AIDS seperti yang pernah dikarang palsu oleh pihak anti syiah.

Kembali pada persoalan Aisyah. Jika anda mau mencari tahu, tidak hanya dari mendengarkan ceramah para ustadz, tapi juga dengan membaca kitab, maka anda akan mengetahui fakta bahwa ternyata Aisyah adalah istri yang pembangkang! Berikut ini saya paparkan sejumlah buktinya, tentunya dari referensi sunni sendiri:

Allah berfirman:

اِنْ تَتُوْبَاۤ  اِلَى اللّٰهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوْبُكُمَا ۚ  وَاِنْ تَظٰهَرَا عَلَيْهِ فَاِنَّ اللّٰهَ  هُوَ مَوْلٰٮهُ وَجِبْرِيْلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِيْنَ ۚ  وَالْمَلٰٓئِكَةُ بَعْدَ ذٰلِكَ  ظَهِيْرٌ

“Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sungguh hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran) dan jika kamu berdua saling bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sungguh Allah menjadi pelindungnya dan (juga) Jibril dan orang-orang mukmin yang orang sholih, dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya.” [QS at-Tahrim, Ayat 4]

Ibu Abbas bertanya kepada Umar:

“Siapakah dua orang istri Nabi SAW yang disebut Allah dalam Firman-Nya: ‘Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hatimu berdua telah condong untuk menerima kebaikan?’ Jawab Umar: ‘Kamu ini aneh wahai Ibnu Abbas. Keduanya adalah Hafsah dan Aisyah!’” [Imam Muslim, Shahih Muslim Kitab Talak, No 2707]

عَسٰى رَبُّهٗۤ اِنْ طَلَّقَكُنَّ اَنْ يُّبْدِلَهٗۤ اَزْوَاجًا خَيْرًا  مِّنْكُنَّ مُسْلِمٰتٍ مُّؤْمِنٰتٍ قٰنِتٰتٍ تٰٓئِبٰتٍ عٰبِدٰتٍ سٰٓئِحٰتٍ  ثَيِّبٰتٍ وَّاَبْكَارًا

“Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.” [QS at-Tahrim, Ayat 5]

Renungkanlah ayat ke 5 Surat At-Tahrim diatas, dengan sangat jelas disebutkan bahwa jika nabi SAW menceraikan mereka, akan ada wanita lain yang lebih baik dari mereka, yang patuh, beriman, taat, bertobat, beribadah, berpuasa, yang janda dan yang perawan. Artinya isteri – isteri nabi SAW itu bukanlah jaminan sebagai wanita paling mulia dari wanita lain, meskipun bukan isteri nabi SAW.

Kedua ayat tersebut turun sebagai ancaman keras Allah atas pembangkangan mereka yang sangat menyakiti hati nabi SAW. Berikut ini saya bawakan beberapa contoh riwayat tentang perilaku Aisyah yang menyakiti hati nabi SAW:

37

(Screenshoot Shahih Bukhari, Kitab Manaqib Anshar, Bab 20: Pernikahan Nabi SAW dengan Khadijah dan keutamaannya, Hal 935, Hadits No 3821)

 “Dan telah berkata Isma’il bin Khalil telah mengabarkan kepada kami Ali bin Mushir dari Hisyam dari bapaknya dari Aisyah yang berkata: ‘Halah binti Khuwalid, saudara perempuan Khadijah meminta izin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, lalu beliau teringat cara Khadijah meminta izin. Beliau tertegun sejenak namun segera berujar: ‘Ya Allah, ini Halah’. ‘Aisyah berkata: “Aku menjadi cemburu karenanya lalu aku katakan: ‘Kamu mengingat terus si tua bangka kurus dari Quraisy itu dan yang kedua rahangnya telah merah itu (sindiran untuk orang yang sudah tua). Dia telah lama mati, padahal Allah telah memberi ganti untukmu dengan yang lebih baik darinya!’” [Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Manaqib Anshar, Bab 20: Pernikahan Nabi SAW dengan Khadijah dan keutamaannya, Hal 935, Hadits No 3821, Penerbit Dar Ibnu Katsir]

“Suatu ketika Isteri nabi SAW yang lain mengirim makanan kepada nabi SAW di rumah Aisyah. Ketika nabi SAW sedang menyantap makanan itu, Aisyah membanting tempat makanannya sehingga pecah berantakan di lantai bersama makanannya.” [Imam Bukhari, Kitab Shahih Bukhari, Jilid 6, Bab al-Ghirah, Hal 157]

“Di saat lain, Aisyah berkata tidak sopan terhadap nabi SAW dengan berkata: ‘Engkaukah yang mengklaim dirimu sebagai Nabi Allah?’” [Imam Ghazali, Kitab Ihya Ulumuddin, Adab al Nikah, Jilid 2, Hal 29]

“Aisyah berkata kepada nabi SAW: ‘Sesungguhnya engkau mengklaim sebagai Rasul/utusan Allah?’ Nabi SAW berkata menjawabnya: ‘Apakah engkau hai Ummu Abdillah (panggilan Aisyah) dalam keraguan bahwa aku adalah Rasul Allah?’ Aisyah berkata: ‘Jika engkau rasul Allah, mengapakah engkau tidak berlaku adil?’” [Ali ibn Burhanuddin al-Halabi asy-Syafi’i, Kitab As-Sirah al Halaibiyah, Jilid 3, Hal 260]

“Ketika nabi SAW menikahi wanita lain Asma binti Nu’man, Aisyah sangat cemburu dan marah, lalu dia pun berdusta dengan mengajari calon pengantin baru tersebut dengan berkata: ‘nabi SAW akan terpukau oleh kecantikan isterinya yang ketika beliau masuk menemuinya berkata: ‘Aku berlindung kepada Allah darimu!’. Tujuannya agar nabi SAW marah mendengar kata – kata itu dan menceraikan isterinya yg tak berdosa itu. Dan akhirnya nabi SAW menceraikannya disebabkan kata – kata itu!” [Imam al-Muttaqi al-Hindi, Kitab Kanzul Ummal, Jilid 7, Hal 116]

“Ketika nabi SAW sedang sholat, ia menjulurkan kedua kakinya di hadapan nabi SAW. Ketika nabi SAW sujud, Aisyah menarik kedua kakinya. Begitu nabi SAW berdiri dari sujud, Aisyah kembali menjulurkan kedua kakinya.” [Imam Bukhari, Kitab Shahih Bukhari, Jilid 1, Bab al-Shalah ala Firasy, Hal 101]

“Apabila Aisyah sedang marah – marah, ia mencaci maki nama nabi SAW dan tidak menyebut nama Muhammad, tetapi berkata: ‘Demi Tuhan Ibrahim!’” [Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab al-Mazhalim, Jilid 6, Bab Ghirah al-Nisa wa Wajduhunna, Hal 158; Jilid 3, Bab al-Ghurfah wa al-Aliyyah, Hal 106]

“Di lain waktu Aisyah bersama Hafsah melakukan persekongkolan terhadap nabi SAW, sehingga nabi SAW sampai menjauhi isteri – isterinya selama sebulan penuh dengan tidur di atas tikar.” [Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab al-Mazhalim, Jilid 3, Bab al-Ghurfah wa al-‘Aliyyah, Hal 106]

Ketika turun firman Allah:

تُرْجِيْ مَنْ تَشَآءُ مِنْهُنَّ وَتُــئْوِيْۤ اِلَيْكَ مَنْ تَشَآءُ   ۗ  وَمَنِ ابْتَغَيْتَ مِمَّنْ عَزَلْتَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكَ   ۗ  ذٰلِكَ اَدْنٰۤى اَنْ تَقَرَّ اَعْيُنُهُنَّ وَلَا يَحْزَنَّ وَيَرْضَيْنَ بِمَاۤ اٰتَيْتَهُنَّ كُلُّهُنَّ   ۗ  وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا فِيْ قُلُوْبِكُمْ   ۗ  وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَلِيْمًا

“Engkau boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang engkau kehendaki di antara mereka (para istrimu) dan (boleh pula) menggauli siapa (di antara mereka) yang engkau kehendaki. Dan siapa yang engkau ingini untuk menggaulinya kembali dari istri – istrimu yang telah engkau sisihkan, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan mereka rela dengan apa yang telah engkau berikan kepada mereka semuanya. Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.” [QS al-Ahzab, Ayat 51]

Aisyah malah mencela nabi SAW dengan berkata kepada nabi SAW tanpa  malu atau merasa bersalah:

“Tidaklah aku melihat kecuali Tuhanmu telah menjadikanmu sangat bernafsu (terhadap perempuan).” [Imam Bukhari, Kitab Shahih Bukhari, Jilid 6, Bab Hal li al-Mar’ah an Tahb Nafsaha liahadin, Hal 24]

Meskipun Aisyah sering menyakiti hati nabi SAW, tapi beliau selalu menahan marah. Nabi SAW selalu berkata kepada Aisyah: “Sungguh setanmu telah menguasaimu, wahai Aisyah’. Akibat banyaknya kedurhakaan Aisyah bersama Hafshah kepada nabi SAW itulah sehingga Allah sampai menegur dengan keras melalui ayat 4 dan 5 Surat At-Tahrim di atas. Pihak sunni selalu membela Aisyah dengan alasan bahwa Aisyah telah dimaafkan oleh Allah. Jika benar demikian, seharusnya Aisyah berubah dari perilaku buruknya, tetapi ternyata perilaku buruknya terus berlanjut bahkan setelah wafat nabi Muhammad SAW, yakni kepada Ahlulbaitnya dengan memeranginya!

8

(Screenshoot Kitab al-Aqd al-Farid, Jilid 5, Hal 79)

 “Ummu Aufa al-Ibbadiyah masuk ke rumah Aisyah setelah selesai perang Jamal, dan dia berkata kepadanya: ‘Wahai Ibunya orang – orang beriman, apa pendapatmu tentang seorang perempuan yang membunuh putranya yang masih kecil?’ Aisyah berkata: ‘Neraka menjadi wajib baginya!’ Dia berkata: ‘Apa pendapatmu tentang seorang perempuan yang membunuh dua puluh ribu anak – anaknya yang sudah dewasa di suatu tempat (perang jamal)?’ Aisyah berkata: ‘Tangkap musuh Allah itu!’” [Ahmad bin Muhammad bin Abdurrobbih, Kitab al-Aqd al-Farid, Jilid 5, Hal 79; Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Kitab Ansab al-Asyraf, Jilid 2, Hal 266]

4.2 Pasca terbunuhnya imam Ali as [Kembali]

Imam Ali as syahid karena dibunuh oleh khawarij manusia terkutuk bernama Abdurrahman bin Muljam al-Murodi atau biasa disebut Ibnu Muljam. Beliau syahid pada tanggal 19 Ramadhan 40 H karena ditebas kepalanya ketika bangkit dari sujud sholat shubuh. Mirisnya Ibnu Muljam adalah seorang yang dikenal sebagai hafidz (hapal) Qur’an, zahid, rajin shalat, puasa dan mendapat julukan al-Muqri, dia juga sekaligus sebagai motivator orang lain untuk menghafalkan al-Qur’an. Dengan membaca kenyataan ini, maka kita tidak perlu sombong dengan banyaknya amal ibadah yang kita lakukan. Tidak perlu merasa paling benar sembari menyalahkan pendapat lain yang berbeda, karena saling menghargai perbedaan itu lebih baik. Dan tidak perlu berlebihan dalam menghukumi sesuatu hal, terlebih pada persoalan agama, kita tidak boleh menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pikiran sendiri, tetapi harus dengan kajian yang mendalam, begitupun dengan hadits harus tahu dari statusnya dan lain – lain.

Setelah imam Ali as wafat, imam Hasan as diangkat menjadi khalifah. Dalam riwayat sunni menyatakan bahwa imam Ali as tidak pernah menunjuk imam Hasan as anaknya sebagai khalifah penggantinya, melainkan imam Hasan as tiba – tiba saja dibai’ai oleh umat. Hal ini seperti diceritakan oleh imam adz-Dzahabi:

“ketika detik detik sebelum Ali bin Abi Thalib wafat, kaum muslimin meminta beliau untuk menunjuk khalifah penggantinya: ‘Tunjuklah khalifah setelahmu?’ Namun beliau menolak: ‘Tidak, aku akan membiarkan kalian (memilih) sesuai dengan apa yang Rasulullah SAW tinggalkan untuk kalian.’ [Imam adz-Dzahabi, Tarikhul Islam wa Wafayatul Masyahiri wal Alam, 3/153]

Mohon direnungkan kata – kata dari imam Ali as diatas, yaitu: “aku akan membiarkan kalian (memilih) sesuai dengan apa yang Rasulullah SAW tinggalkan untuk kalian”, jika yang dimaksud peninggalan Rasulullah SAW itu adalah tata cara pemilihan khalifah, itu tidak mungkin, karena setelah Rasulullah SAW meninggal, Abu Bakar dipilih melalui syuro (itupun tanpa mengikutsertakan ahlulbait yang sedang sibuk mengurus prosesi pemakaman jenazah Rasulullah SAW), sedangkan Umar dipilih melalui penunjukan dari Abu Bakar, itu jelas dua hal yang berbeda. Jadi apa maksud peninggalan tersebut kalau bukan ditunjukkan kepada ahlulbait nabi SAW? Seorang sarjana sejarah islam jerman bernama Wilferd Ferdinand Madelung mengutip pernyataan imam Ali as yang selalu berkata: “Hanya ahlulbait yang berhak menjadi khalifah!” [Madelung, Hal 311]. Maka tidaklah mengherankan, walaupun tanpa penunjukan ataupun syuro, imam Hasan as bisa diangkat menjadi khalifah, karena umat tahu akan wasiat nabi SAW bahwa kekhalifahan adalah haknya ahlulbait, jika tidak, maka kejadian tersebut sungguh tidak logis jika mau dipikirkan, karena bagaimana mungkin warga arab yang multi suku dan kepentingan, tanpa ada syuro/pemilihan dan tanpa ada penunjukkan juga dari khalifah sebelumnya, tiba – tiba umat kompak menjadikan imam Hasan as sebagai calon tunggal untuk dibai’at?! Begitupun demikian terhadap imam Ali as yang menjadi khalifah karena tiba – tiba di bai’at oleh umat, itu karena umat tahu dan sadar akan wasiat nabi SAW tersebut! Begitupun sebelumnya juga dimasa pergantian khalifah Umar sudah ada hasil syuro, dimana imam Ali as mendapatkan suara yang paling unggul, namun karena politik busuk yang sudah saya bahas diatas, maka Utsmanlah yang akhirnya menjadi khalifah.

Ketika imam Hasan as berkuasa, terjadi konflik peperangan berlarut – larut antara dirinya dengan kubu Muawiyah bin Abi Sofyan karena ingin merebut kekuasaan khalifah, maka demi perdamaian mencegah banyaknya pertumpahan darah, akhirnya imam Hasan as menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah dengan perjanjian bahwa setelah Muawiyah selesai menjadi khalifah, kekhalifahan harus dikembalikan lagi kepada dirinya, akan tetapi jika dirinya saat itu sudah wafat, maka harus diserahkan kepada adiknya, yakni imam Husein as. Perjanjian tersebut disetujui oleh Muawiyah, tapi akhirnya Muawiyah ingkar janji dan menyerahkan kekhalifahan itu kepada Yazid anaknya.

Perlu direnungkan juga bahwa penunjukkan secara langsung oleh imam Hasan as kepada imam Husein ini memang sudah semestinya terjadi, karena sudah haknya alhlulbait as dalam tampuk kekhalifahan ini, bukan karena mereka kakak beradik.

Muawiyah bin Abi Sofyan sudah diserahkan jabatan khalifah oleh imam Hasan as, bukannya berterima kasih dan menghentikan konflik, malah perbuatan zhalimnya semakin menjadi – jadi. Dia dengan tega menyuruh istri imam Hasan as yang bernama Ja’dah binti Asy’at bin Qais untuk membunuh suaminya. Ja’dah di iming – imingi oleh Muawiyah akan memberinya seratus ribu dirham dan dinikahkan dengan Yazid anaknya yang akan dilantik sebagai raja pengganti. Ja’dah tertarik akan tawaran itu dan berhasil membunuh imam Hasan as suaminya dengan cara diracun pada tahun 670 M. Na’asnya setelah itu Muawiyah mengingkari janjinya untuk menikahkan Ja’dah dengan Yazid karena khawatir anaknya akan dibunuh sebagaimana suaminya terdahulu. Muawiyah berkata: “Bagaiman mungkin kunikahkan kau dengan putraku sedangkan Putra Rasulullah saja kau bunuh?!”.

Imam Hasan as ketika sekarat berwasiat kepada imam Husein as adiknya:

Hasan menjelang wafatnya beliau berkata kepada saudaranya (Husein): ‘Wahai saudaraku, ini ketiga kalinya aku diracun, dan racun ini sangat berbeda dengan sebelumnya, dan inilah yang akan menjadi penyebab kematianku hari ini. Jika aku meninggal, maka makamkanlah aku di sisi makam Rasulullah SAW, sebab tidak ada yang lebih dekat dengannya kecuali aku, namun jika pemakamanku di sisi makam Rasulullah SAW dapat menyebabkan pertumpahan darah, maka hindarilah.’” [Ya’qubi, Kitab Tarikh al-Ya’qubi, Jilid 2, Hal 154]

Imam Husein as berusaha untuk memenuhi wasiat keinginan terakhir imam Hasan as untuk dimakamkan disisi makam Rasulullah SAW, tetapi gagal karena dilarang dan dihalang – halangi oleh Aisyah, dkk yang membenci ahlulbait nabi SAW:

“Di saat rombongan pengiring jenazah yang dipimpin oleh Husein beriringan memasuki kuburan Rasulullah SAW, Marwan bersama pengikut Bani Umayyah yang bersenjata lengkap dan juga Aisyah menghadang mereka. Aisyah yang mengendarai keledai berkata dengan keras: ‘Apa yang terjadi antara kalian dan aku, sehingga kalian akan memasukkan seseorang yang tidak aku sukai ke rumahku?’ Marwan menimpali: ‘Demi Allah, perang lebih baik dari pada damai. Haruskah Utsman dikubur di pinggir kota Madinah, sementara Hasan dikubur disamping Rasulullah SAW? Ini tidak akan pernah terjadi selama aku masih membawa pedang!’ Keributan terjadi tak terhindarkan antara Bani Umayah dengan Bani Hasyim. ..Lalu Ibnu Abbas menuju Aisyah dan berkata: ‘Betapa jahat perbuatanmu, suatu saat engkau mengendarai keledai dan suatu ketika engkau mengendarai unta. Apakah engkau ingin memadamkan cahaya Allah dan memerangi kekasih Allah? Kembalilah, engkau telah diberi jaminan sehingga tak perlu khawatir, dan telah pula engkau ketahui apa yang ingin engkau ketahui. Demi Allah, kemenangan akan datang bersama Ahlulbait, meskipun setelah melewati waktu yang lama!’ Al-Husein berkata: ‘Demi Allah, jika bukan karena perintah Hasan kepadaku untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah, yang bahkan aku tidak diperkenankan menumpahkannya meski hanya secangkir dalam melaksanakan perintahnya, maka kalian akan menyaksikan betapa pedang Allah ini akan meminta korban kalian! Kalian telah melanggar kesepakatan yang telah dibuat antara kalian dengan kami. Kalian telah mengabaikan persyaratan yang kami buat untuk kami!’. Lalu mereka pergi dengan membawa jenazah al-Hasan, dan mereka menguburkan beliau di pekuburan Baqi di samping nenek beliau, Fathimah binti Asad ra.” [Imam ath-Thabari, Kitab Dala’il al-Imamah, Hal 61; Abul Faraj al-Isfahani, Kitab Maqatil ath-Thalibiyin, Hal 74]

Singkat cerita, setelah Yazid bin Muawiyah laknatullah berkuasa menjadi khalifah, dia memerintahkan pasukannya untuk membunuh imam Husein as! Maka imam Husein as beserta sebagian kelurga dan pengikut setianya syahid dibantai pada 10 Muharam 680 M di padang karbala. Seorang sejarawan sunni bernama Ibnu Atsir berkata penuh makna dalam hal ini:

3

(Screenshoot Kitab al-washi al-Marqom, Jilid 1, Hal 383)

 “Ketahuilah bahwa Husein tidak dibunuh di Karbala pada hari Asyura, tapi sebenarnya Husein (secara tidak langsung) terbunuh di Saqifah.” [Ibnu Atsir, Kitab al-washi al-Marqom, Jilid 1, Hal 383]

Jika anda memandang Yazid bin Muawiyah adalah baik, sedangkan imam Husein as salah karena memberontak kepada khalifah yang sah, maka renungkanlah komentar dari imam adz-Dzahabi ini agar anda tahu siapa sebenarnya Yazid itu:

وكان ناصبيا فظا ، غليظا ، جلفا . يتناول المسكر ، ويفعل المنكر

“Dia nashibi, berperilaku kasar, keras hati, tidak sopan, meminum arak, dan melakukan perbuatan mungkar!” [Imam adz-Dzahabi, Kitab Siyar A‘lam an-Nubala, Juz 4, Hal 37]

Lalu adz-Dzahabi melanjutkan:

افتتح دولته بمقتل الشهيد الحسين  ، واختتمها بواقعة الحرة  ، فمقته الناس . ولم يبارك في عمره . وخرج عليه غير واحد بعد  الحسين  . كأهل المدينة قاموا لله

“Dia membuka kekuasaannya dengan pembunuhan Husain, dan menutup kekuasaannya dengan peristiwa al-Harrah, maka orang-orang pun memurkainya. Umurnya tidak diberkahi, bukan hanya satu orang yang keluar menentangnya setelah Husain. Contohnya penduduk Madinah yang bangkit karena Allah” [Imam adz-Dzahabi, Kitab Siyar A‘lam an-Nubala, Juz 4, Hal 38]

Jalaluddin as-Suyuthi juga mencatat tentang kebrutalan Yazid:

وفي سنة ثلاث وستين بلغه أن أهل المدينة خرجوا عليه وخلعوه، فأرسل إليهم جيشًا كثيفًا وأمرهم بقتالهم

“Pada tahun 63 H sampai kabar ke Yazid bahwa penduduk Madinah melakukan penentangan terhadapnya dan tidak lagi mengakuinya. Lalu Yazid mengirim pasukan dalam jumlah besar kepada penduduk Madinah dan memerintahkan memerangi mereka” [Imam as-Suyuthi, Kitab Tarikh al-Khulaf’, Hal 344]

Menurut as-Suyuthi, penyebab penentangan penduduk Madinah karena Yazid keterlaluan dalam bermaksiat. Pada peristiwa al-Harrah, sebagian penutup ka‘bah terbakar kena peluru berapi yang dilontarkan pakai manjaniq (ketapel raksasa).

Setelah semua itu terjadi, bani umayyah membuat tradisi rutinan untuk melaknat imam Ali as di mimbar – mimbar masjid sampai 80 tahun! Berikut buktinya:

Al-Manawi, seorang ulama sunni berkomentar tentang pengkhianatan hadits al-Tsaqalain (dua pusaka) oleh bani Umayyah sebagai berikut:

8b

(Screenshoot Kitab Faidh al-Qadir Syarh al-Jami ash-Shagir, Juz 3, Hal 15, No 2631)

“Bersamaan dengan itu Bani Umayyah menerima wasiat yang agung ini dengan menentangnya dan mengkhianatinya. Mereka menumpahkan darah Ahlul Bait, menghina perempuan mereka, menawan anak-anak mereka, menghancurkan rumah mereka, mengingkari kemuliaan dan keutamaan mereka, membolehkan mencaci mereka dan melaknat mereka. Maka mereka (sebagian Bani Umayyah) telah menentang Nabi Muhammad SAW dalam wasiatnya!” [Al-Manawi, Kitab Faidh al-Qadir Syarh al-Jami ash-Shagir, Juz 3, Hal 15, No 2631]

8a

(Screenshoot Kitab al-Ilal wa Ma’rifat al-Rijal, Jilid 3, Hal 176, No 4781)

“Marwan menjadi pemimpin kami selama enam tahun dan ia mencaci ‘Ali setiap hari Jum’at. Kemudian ia digantikan oleh Sa‘id bin ‘Ash selama dua tahun dan Sa‘id tidak mencaci ‘Ali. Kemudian Marwan diangkat kembali dan ia mencacinya lagi” [Imam Ahmad bin Hanbal, Kitab al-Ilal wa Ma‘rifat al-Rijal, Jilid 3, Hal 176, No 4781. Muhaqqiq kitab berkomentar: “sanadnya shahih”]

52a

(Screenshoot Kitab Sunan Ibnu Majah, bi syarah as-Sindy, Jilid 1, Hal 86, No 121)

“Perkataannya ‘fanaala minhu’ bermakna Mu‘awiyah mencela ‘Ali, berkata buruk tentangnya dan mencacinya bahkan ia memerintahkan Sa‘d untuk mencaci ‘Ali sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim dan Tirmidzi. [Sunan Ibnu Majah, bi syarah as-Sindy, Jilid 1, Hal 86, No 121]

Tak hanya kepada imam Ali as, bani Umayyah juga melaknat ahlulbait dalam hal ini yakni melaknat anak – anaknya imam Ali as. Marwan bin Hakam setelah mencaci Imam Husain as, ia berkata:

52b

(Screenshoot Kitab al-Mathalib al-Aliyah bi Zawa’id al-Masanid al-Tsamaniyah, Jilid 18, Hal 265, No 4455)

“Ahlulbait adalah para manusia laknat/terkutuk!” [Ibnu Hajar al-Asqalani, Kitab al-Mathalib al-Aliyah bi Zawa‘id al-Masanid al-Tsamaniyah, Jilid 18, Hal 265, No 4455]

Tak hanya melaknat, pihak bani umayyah juga akan memberikan uang kepada mereka yang bersedia memberikan kesaksian palsu untuk memfitnah imam Ali as:

22

(Screenshoot Kitab Siyar Alam Nubala, Jilid 7, Hal 130)

“Kami dulu mendapat gaji untuk menceritakan dan bersaksi tentang pernyataan palsu untuk membuktikan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah seorang munafik.” [Imam adz-Dzahabi, Kitab Siyar Alam Nubala, Jilid 7, Hal 130]

Pelaknatan terhadap imam Ali as akhirnya dihentikan pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz oleh beliau sendiri:

كان بنو أمية يسبون أمير المؤمنين علي بن أبي طالب عليه السلام إلى أن ولي عمر بن عبد العزيز الخلافة فترك ذلك وكتب إلى العامل في الآفاق بتركه

“Bani Umayyah mencaci maki Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sampai masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz perbuatan itu ditinggalkan. Ia menyampaikan ke jajarannya untuk meninggalkan caci maki itu. [Ibnu Atsir, Kitab al-Kamil fi al-Tarikh, Jilid 4, Hal 314]

وكان بنو أمية يسبون عليا فكتب عمر إلى الآفاق بترك ذلك

“Dulu Bani Umayyah mencaci maki Ali, lalu Umar bin Abdul Aziz menulis kepada jajarannya himbauan untuk meninggalkan perbuatan itu.” [Kitab Tarikh Ibnu Khaldun, Juz 3, Hal 94]

Jangan sampai gajah di pelupuk mata tak tampak, tapi semut di seberang lautan tampak, yakni jika anda berkeberatan para sahabat nabi SAW dicaci maki dan dilaknat oleh sebagian oknum syiah rafidhoh, padahal oleh ulama kami perbuatan tersebut dilarang, bukannya paham, malah menggeneralisir semua syiah seperti itu, tapi ketika dipaparkan secara jelas dalam sumber sunni sendiri bahwa bani Umayyah melaknat bukan lagi sekedar sahabat, tapi bahkan ahlulbait nabi SAW, khususnya imam Ali as, anda malah menutup mata, itu namanya munafik!!!

Tak hanya itu saja, penderitaan ahlulbait tiada henti, penindasan, penghinaan dan pembunuhan ahlulbait nabi SAW tak hanya terjadi kepada mereka, akan tetapi menjadi daftar panjang bahwa semua imam maksum syiah sebagai ithrah ahlulbait nabi SAW juga meninggal dalam keadaan syahid. Berikut ini daftar singkatnya:

  1. Ali (Zainal Abidin as-Sajjad) bin Husain syahid diracun pada 25 Muharam 713 M oleh orang suruhan Walid di Madinah.
  2. Muhammad (al-Baqir) bin Ali (Zainal Abidin as-Sajjad) syahid diracun pada 7 Zulhijjah 114 H atas perintah dari Hisyam bin Abdul Malik, khalifah dinasti Umayyah.
  3. Ja’far (ash-Shadiq) bin Muhammad (al-Baqir) syahid diracun pada 765 M atas perintah Manshur, khalifah dinasti Abbasiyyah.
  4. Musa (al-Kazhim) bin Ja’far (ash-Shadiq) dipenjara oleh Harun ar-Rasyid, khalifah dinasti Abbasiyyah pada 795 M. Beliau syahid di dalam penjara dengan cara diracun oleh Sindi bin Syahik atas perintah Yahra bin Khalid Barmaki, seorang menteri yang diperintah oleh Harun ar-Rasyid.
  5. Ali (ar-Ridha) bin Musa (al-Kazhim) syahid diracun atas perintah Makmun, khalifah dinasti Abbasiyyah.
  6. Muhammad (al-Jawad) bin Ali (ar-Ridha) syahid diracun atas perintah Mu’tashim, khalifah dinasti Abbasiyyah.
  7. Ali (al-Hadi) bin Muhammad (al-Jawad) syahid diracun pada 868 M setelah sebelumnya dijadikan tahanan rumah oleh Mutawakkil, khalifah dinasti Abbasiyyah.
  8. Hasan (al-Askari) bin Ali (al-Hadi) syahid pada 874 M diracun atas perintah Mu’tamid, khalifah dinasti Abbasiyyah.

5. FIQH IBADAH SYIAH LEBIH SESUAI AL-QUR’AN & HADITS
Fiqih adalah ilmu tentang persoalan hukum – hukum syara yang diamalkan oleh umat islam. Jika membahas tentang hukum syara, maka yang harus diketahui bahwa hukum syara itu patokannya adalah dalil naqli yakni al-Qur’an dan hadits. Nah, disini sedikit kita akan membahas fiqh ibadah siapakah antara suuni dan syiah yang lebih sesuai dengan al-Qur’an dan hadits? Hal ini saya coba kemukakan karena banyak sekali suara sumbang yang bilang kalau ibadah muslim syiah itu aneh, di buat – buat sendiri agar tampil beda, sehingga tidak sesuai dengan aturan islam yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW, benarkah demikian? Mari kita buktikan berdasarkan riwayat – riwayat ahlussunnah sendiri agar mereka mau berpikir sekaligus sebagai bukti kebenaran syiah!

5.1 Tata cara Adzan syiah lebih sesuai hadits [Kembali]
Pihak anti syiah berkata bahwa pihak syiah berani dengan sengaja membuat bid’ah dengan memodifikasi lafadz adzan seperti adanya penambahan lafadz setelah membaca: “hayya alal falah”, yakni membaca: “hayya ala khairil amal”, benarkah ini bid’ah? Tidak! Justru lafadz tersebut keberadaannya telah ada dimasa Rasulullah SAW hidup, artinya lafadz tersebut adalah sunnah yang telah sengaja dihapuskan. Berikut ini saya bawakan buktinya:

23

(Screenshoot Kitab Sunan al-Kubra, Juz 1, Riwayat No 1993, Hal 793)

“Dengan sanad yang sampai kepada Muhammad Al-Baqir (as) bahwa Ali bin al-Husain berkata mengenai adzan: ‘Jika telah mengucapkan hayya alal falah, ucapkanlah hayya’ala khairil amal. Inilah adzan di masa awal.’” [Imam al-Baihaqi (w. 458 H), Kitab Sunan al-Kubra, Juz 1, Riwayat No 1993, Hal 793, Tahqiq Islam Manshur Abd al-Hamid (pada catatan kaki ia berkata: Hasan), Terbitan Dar al-Hadits – Kairo Mesir 1429 H/2008 M)]

6

(Screenshoot Kitab Sunan al-Kubra, Jilid 1, Hal 625)

“Dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, bahwa Ali bin Husein cucu nabi SAW pernah berkata mengenai adzannya: ‘setelah diucap hayya alal falah, diucapkanlah hayya ala khoiril amal’.” [Imam Baihaqi (458 H), Kitab Sunan al-Kubro, Jilid 1, Hal 625]

7

(Screenshoot Kitab Kanzul Ummal, Jilid 8, Hal 342)

“Saat Bilal mengumandangkan adzan shubuh ia sering mengucapkan kalimat: ‘hayya ala khoiril amal (mari menuju sebaik – baiknya amal).'” [Imam al-Muttaqi al-Hindi (975 H), Kitab Kanzul Ummal, Jilid 8, Hal 342]

24x

(Screenshoot Kitab Sunan al-Kubra, Juz 1, Riwayat No 1992, Hal 792)

“Dengan sanad kepada Nafi yang berkata bahwa Ibnu Umar.. jika (ketika adzan) telah mengucapkan hayya ‘alal falah, terkadang setelahnya mengucapkan hayya ‘ala khairil ‘amal.” [Imam al-Baihaqi (w. 458 H), Kitab Sunan al-Kubra, Juz 1, Riwayat No 1992, Hal 792, Tahqiq Islam Manshur Abd al-Hamid (pada catatan kaki ia berkata: Shahih), Terbitan Dar al-Hadits – Kairo Mesir 1429 H/2008 M)]

Yang menjadi persoalan, kenapa oleh Ibnu Umar lafadz: “hayya ala khairil amal” diucapkannya kadang – kadang? Karena untuk adzan shubuh penyebutannya diganti dengan lafadz: “Assholatu khoiru minan naum”. Hal ini dimaksudkan karena beliau mengikuti perintah ayahnya (Umar bin Khaththab). Ini riwayatnya:

3b

(Screenshoot al-Muwatho Kitab Sholah, Bab Maja’ah fin nidah lis sholah, Hal 72)

“Suatu hari seorang muadzin mendatangi Umar bin Khaththab lalu mengumandangkan adzan shubuh untuknya. Muadzin itu melihat Umar sedang tidur. Maka ia mengucapkan (dalam adzannya): ‘Assholatu khoiru minan naum (sholat lebih baik daripada tidur)’. Setelahnya Umar memerintahkannya untuk menambahkan kalimat tersebut pada adzan shubuh.” [Imam Malik, al-Muwatho, Kitab Sholah, Bab Maja’ah fin nidah lis sholah, Hal 72]

3a

(Screenshoot Kitab Kanzul Ummal, Jilid 8, Hal 355)

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar (Anaknya Umar bin Khaththab) bahwa Umar pernah berkata kepada muadzinnya: ‘jika engkau (adzan) tiba di kalimat hayya alal falah di fajar hari, maka ucapkanlah Assholatu khoiru minan naum (sholat lebih baik daripada tidur) 2 kali.'” [Imam al-Muttaqi al-Hindi (975 H), Kitab Kanzul Ummal, Jilid 8, Hal 355]

Padahal Ibnu Umar pernah juga mengatakan bahwa lafadz: “Assholatu khoiru minan naum” adalah bid’ah!

5

(Screenshoot Kitab Kanzul Ummal, Jilid 8, Hal 357)

“Aku pernah bersama Ibnu Umar, waktu itu ia mendengar seseorang melakukan tatswib (yaitu mengucapkan shalat lebih baik daripada tidur), lalu Ibnu Umar berkata: ‘mari kita tinggalkan orang yang membuat bid’ah ini!’.
..Bahwa Sa’ad adalah orang pertama yang mengucapkan: ‘Assholatu khoiru minan naum’, yakni di zaman kekhalifahan Umar.” [Imam al-Muttaqi al-Hindi (975 H), Kitab Kanzul Ummal, Jilid 8, Hal 357]

Ada hal menarik, setelah kita tahu bahwa yang membuat perintah bid’ah lafadz adzan: “Assholatu khoiru minan naum” adalah dari Umar bin Khaththab, eh Abu Hurairah malah menceritakan bahwa itu dari Rasulullah SAW. Ini riwayatnya:

4

(Screenshoot Kitab Majma’uz Zawaid, Jilid 1, Hal 330)

“Dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa Bilal mendatangi nabi Muhammad SAW untuk mengumandangkan adzan shubuh. Kemudian nabi berkata: ‘Pergilah ke Abu Bakar agar memimpin sholat!’, kemudian Bilal kembali lagi ke nabi dan melihat nabi masih merasa berat (mengantuk untuk bangun) dan nabi masih berkata: ‘Pergilah ke Abu Bakar agar memimpin sholat!’, lalu ia pergi kemudian mengumandangkan adzan dan menambahkan kalimat ini dalam adzannya: ‘Assholatu khoiru minan naum (sholat lebih baik daripada tidur)’. Setelah itu nabi berkata kepadanya: ‘apa yang kau tambahkan tadi dalam adzanmu?’ Bilal menjawab: ‘Aku melihat anda merasa berat (mengantuk), maka aku ingin anda bersemangat’, nabipun berkata: ‘Pergilah dan tambahkan itu ke dalam adzanmu, mintalah Abu Bakar untuk memimpin sholat’. “ [Imam al-Haitsami (807 H), Kitab Majma’uz Zawaid, Jilid 1, Hal 330]

Mohon direnungkan baik – baik, mungkinkah nabi Muhammad SAW yang seorang penghulu nabi dan rasul, manusia terbaik di muka bumi ini dari awal hingga akhir, dunia dan akhirat, seorang yang maksum, tapi bisa dikalahkan oleh rasa kantuknya sendiri, bermalas – malasan untuk melaksanakan perintah Allah dalam sholat shubuh? Yakinkah kita dengan pernyataan Abu Hurairah diatas?!

Berbicara tentang Abu Hurairah, sungguh jika anda mau mencari tahu, ternyata banyak diantara para sahabat dan istri nabi SAW yang meragukan kejujurannya! Anda boleh tidak percaya jika hal tersebut bersumber dari syiah, tapi dibawah ini semua bersumber dari ahlussunnah. Jadi Silahkan dibaca sambil dipikirkan:

41a

(Screenshoot Kitab Tarikh Adab al-Arab, Juz 1, Hal 235)

“Yang paling banyak meriwayatkan hadits di antara para sahabat adalah Abu Hurairah. Persahabatannya dengan Nabi SAW hanya tiga tahun, oleh karena itu Umar, Usman, Ali, serta Aisyah menolak hadits-haditsnya serta meragukannya. Ia adalah perawi pertama dalam sejarah Islam yang diragukan (dituduh membuat hadits palsu). Aisyah paling keras dalam menolak hadits-haditsnya.” [Musthafa Shadiq ar-Rafi’i, Kitab Tarikh Adab al-Arab, Juz 1, Hal 235]

Aisyah menuduh Abu Hurairah sebagai pemalsu hadits Rasulullah SAW:

أَلَا يُعْجِبُكَ أَبُو هُرَيْرَةَ جَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَانِبِ حُجْرَتِي يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْمِعُنِي ذَلِكَ وَكُنْتُ أُسَبِّحُ فَقَامَ قَبْلَ أَنْ أَقْضِيَ سُبْحَتِي وَلَوْ أَدْرَكْتُهُ لَرَدَدْتُ عَلَيْهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الْحَدِيثَ مِثْلَ سَرْدِكُمْ

“(Wahai Urwah) tidakkah Abu Hurairah mengherankanmu, ia datang lalu duduk disebelah kamarku menyampaikan hadits Rasulullah SAW. Aku mendengarnya ketika shalat sunnah, lalu ia pergi sebelum aku menyelesaikan shalat sunnahku. Seandainya aku beroleh kesempatan, niscaya aku akan menyanggahnya! Karena sungguh Rasulullah SAW tidak pernah memberitahukan hadits seperti yang telah disampaikannya.” [Shahih Muslim, kitab al-Ilmu, Bab Sardu al-Hadits, No. 3303]

Aisyah dan Umar menuduh Abu Hurairah sebagai pemalsu hadits Rasulullah SAW juga terdapat di: Shahih Bukhari, jilid 2, kitab Bada al-Khalq, hal 171; Shahih muslim, jilid 1, hal 34; Dzahabi, siyar i’lam al-Nubla, jilid 2, hal 433.

Ada sanggahan dari Abu Hurairah atas tuduhan pemalsuan hadits dari para sahabat dan istri nabi SAW kepadanya, ia menyanggah bahwa kaum muhajirin lebih banyak sibuk bekerja di pasar – pasar dan kaum anshar lebih banyak sibuk bekerja di kebun – kebun, sedangkan dirinya yang miskin lebih banyak sibuk mendekati Nabi SAW demi makanan, sehingga dengan itu ia dapat meriwayatkan banyak hadits daripada mereka. Sebagian besar kaum muslimin percaya begitu saja dengan pernyataan Abu Hurairah tersebut, padahal jika mau disadari, itu sangat menghina kedudukan kaum Muhajirin dan Anshar. Memang mencari nafkah adalah hal yang wajib, tapi apa iya para sahabat itu bisa sampai lalai, sehingga lebih banyak menghabiskan waktu untuk urusan nafkah ketimbang urusan edukasi yang diberikan Rasulullah SAW? Lagipula perlu diketahui juga jika jumlah seluruh hadits yang diriwayatkan para sahabat dan istri nabi SAW itu semuanya digabung menjadi satu, itu tidak akan menandingi jumlah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah! Tanpa perlu berpikir panjang lebar, ternyata benar tuduhan pemalsuan hadits tersebut, sekaligus menepis sanggahan Abu Hurairah diatas, karena sangat mengejutkan, Abu Hurairah pernah mengakui bahwa dirinya menyampaikan hadits dusta mengatasnamakan Rasulullah SAW, inilah buktinya:

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ غِنًى وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ تَقُولُ الْمَرْأَةُ إِمَّا أَنْ تُطْعِمَنِي وَإِمَّا أَنْ تُطَلِّقَنِي وَيَقُولُ الْعَبْدُ أَطْعِمْنِي وَاسْتَعْمِلْنِي وَيَقُولُ الِابْنُ أَطْعِمْنِي إِلَى مَنْ تَدَعُنِي فَقَالُوا يَا أَبَا هُرَيْرَةَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا هَذَا مِنْ كِيسِ أَبِي هُرَيْرَةَ

“Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami al-A’masy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Shalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Hurairah ra yang berkata Nabi SAW bersabda: ‘sedekah yang paling utama adalah sedekah yang meninggalkan pelakunya dalam kecukupan, tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang dibawah dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, seorang istri akan berkata: ‘kamu memberiku makan atau kamu menceraikanku’ dan seorang budak akan berkata: ‘berilah aku makan dan perintahkan aku untuk bekerja’ dan seorang anak akan berkata: ‘berilah aku makan, kepada siapa engkau akan meninggalkanku’. Mereka berkata: ‘wahai Abu Hurairah apakah engkau mendengar hal ini dari Rasulullah SAW? Abu Hurairah berkata: ‘tidak, hal ini berasal dari Abu Hurairah’” [Shahih Bukhari, 7/63, No 5355; Sunan Daruquthni, 3/297, No 191; Sunan Nasa’i, 5/385, No 9211; Sunan Baihaqi, 7/471, No 15489]

Banyak riwayat – riwayat yang janggal dari Abu Hurairah, untuk mengetahui lebih lanjut, anda dapat membaca buku: “Abu Hurairah dan pemalsuan hadits” karya Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi yang e-booknya dapat di download secara gratis disini: https://simpatisansyiah.files.wordpress.com/2017/09/abdul-husain-syarafuddin-al-musawi-abu-hurairah-dan-pemalsuan-hadits.pdf

Kembali kepada pembahasan tentang adzan. Terdapat penyebutan Ali sebagai wali Allah pada kumandang adzan dan iqamat syiah. Oleh pihak syiah sendiri, hal tersebut dinyatakan bukan bagian dari adzan, melainkan hanyalah sebagai syiar kepada umat islam bahwa imam Ali as adalah wali Allah. Mungkin ini bisa disebut sebagai bid’ah hasanah. Saya sendiri sebenarnya menilai bahwa alasan tersebut adalah ambigu, karena jika sudah disebut dalam adzan, maka itu sudah menjadi bagian dari adzan, tidak bisa dikatakan tidak, sehingga sebaiknya demi kemurnian adzan, maka pernyataan tersebut tidak perlu diucapkan.

5.2 Tata cara wudhu syiah lebih sesuai al-Qur’an! [Kembali]
Mengenal fiqih wudhu syiah yakni terdapat 2 hal, yaitu membasuh dan menyapu/mengusap. Jika membasuh adalah menggunakan air, sedangkan mengusap adalah tanpa air, alias hanya menggunakan sisa air yang menempel di tangan ketika membasuh tadi. Nah, untuk tata cara wudhunya berdasarkan urutan dari awal yaitu membasuh muka dan 2 lengan tangan kanan dan kiri, kemudian mengusap kepala (bagian rambut atas) dan 2 telapak kaki kanan dan kiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada video youtube ini: https://youtu.be/4ZaltOyZKlw

Sebenarnya jika mau dipelajari dan direnungkan, praktik wudhu syiah tersebut ternyata lebih sesuai dengan ayat al-Qur’an dibawah ini:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰىٓ أَوْ عَلٰى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَلٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” [QS al-Ma’idah, Ayat 6]

Bacalah ayat diatas dengan perenungan yang mendalam, lalu jawab dengan jujur, bukankah cara berwudhu tersebut sudah sesuai dengan ayat al-Qur’an tersebut?!

Adapun cara berwudhu sunni/ahlussunnah secara keseluruhan dari awal sampai akhir dilakukan dengan cara membasuh dengan air, alias tidak ada perintah untuk mengusap, yakni tanpa membasuh dengan air lagi. Jika dibandingkan ayat tersebut dalam terjemahan sunni biasanya ditemukan tanda kurung “basuh” untuk kaki, sehingga basuh dalam kurung itu sifatnya hanyalah tafsiran/sisipan, padahal sebenarnya sudah jelas yang disebutkan adalah mengusap kepala (bagian rambut atas) dan kaki, bukan membasuh, sehingga jelas – jelas hal tersebut justru bertentangan dengan ayat al-Qur’an tersebut.

Syiah memahami kaki itu diusap karena memang bila diterjemahkan perkatanya tidak ada kata basuh untuk kaki. Kepengikutan kalimat basuh hanya untuk muka dan tangan, kemudian dilanjut dengan mengusap untuk kepala dan kaki. Perhatikan penggalan ayat tersebut yang saya kutip ini: “basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. Ini sangat jelas bahwa bagian muka dan tangan diperintahkan untuk dibasuh. Lalu penggalan ayat selanjutnya: “dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”, inipun sangat jelas bahwa bagian kepala dan kaki diperintahkan untuk diusap. Maka berpikirlah!

Untuk lebih meyakinkan lagi, ternyata cara berwudhu syiah yang juga sesuai dengan ayat tersebut, terdapat pula melalui sumber riwayat sunni sebagai berikut:

51a

(Screenshoot Kitab Sunan Ibnu Majah, Jilid 1, Hal 376, No 460)

“Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang hingga ia menyempurnakan wudhu(nya) sebagaimana yang Allah perintahkan, (yaitu) membasuh wajah dan tangannya hingga kedua siku, dan mengusap kepala dan kakinya hingga kedua mata kaki” [Ibnu Majah, Kitab Sunan Ibnu Majah, Jilid 1, Hal 376, No 460, Tahqiq Syaikh Basyar Awad Ma‘ruf, Muhaqqiq berkata: “Sanadnya shahih”]

51b

(Screenshoot Kitab Sunan ad-Darimi, Juz 2, Hal 839-840, No 1368)

“Sesungguhnya tidak sempurna shalat seorang dari kalian hingga ia menyempurnakan wudhu sebagaimana yang Allah Azza wa Jalla perintahkan. Ia membasuh wajah dan kedua tangannya hingga kedua siku, mengusap kepala dan kedua kakinya hingga kedua mata kaki..” [Abdullah ibn Abdul Rahman ad-Darimi, Kitab Sunan ad-Darimi, Juz 2, Hal 839-840, No 1368, Tahqiq Syaikh Husain Asad ad-Darani, Muhaqqiq berkata: “Sanadnya shahih”]

كنت أرى أن باطن القدمين أحق بالمسح من ظاهرهما حتى رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يمسح على ظاهرهما

“Aku mengira bagian bawah kedua kaki lebih berhak untuk diusap ketimbang bagian atasnya, hingga aku melihat Rasulullah SAW mengusap bagian atas keduanya.” [Imam Ahmad, Kitab al-Musnad, Juz 2, Hal 295, Hadits No 1013]

إنها لا تتم صلاة لأحد حتى يسبغ الوضوء كما أمره الله تعالى، يغسل وجهه ويديه إلى المرفقين ويمسح برأسه ورجليه إلى الكعبين

“Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang hingga ia menyempurnakan wudhu(nya) sebagaimana yang Allah Ta‘ala perintahkan, (yaitu) membasuh wajah dan tangannya hingga kedua siku, dan mengusap kepala dan kakinya hingga kedua mata kaki.” [Sunan Ibnu Majah, Jilid 1, Hal 376, Hadits No 460]

Syiah tanpa ragu meyakini cara berwudhu dengan membasuh muka dan tangan, mengusap kepala dan kaki, karena disamping sesuai dengan ayat al-Qur’an tersebut utamanya, juga karena dijelaskan oleh para imam ahlulbait nabi SAW:
Zurarah bin A’yan meriwayatkan hadis berikut:
“Imam Muhammad al-Baqir (a.s) berkata: ‘Maukah aku perlihatkan pada kalian cara wudhunya Rasulullah SAW?’ kami menjawab: ‘Ya!’. Apabila air dibawakan ke hadapan imam, imam lalu membasuh tangannya (untuk dibersihkan, bukan bagian dari wudhu), setelah itu beliau menyingsing lengan bajunya. Beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana untuk menciduk air lalu mencurahkan ke dahinya. Beliau membiarkan air itu mengalir hingga ke janggutnya kemudian membasuh mukanya sekali. Kemudian beliau memasukkan tangan kirinya ke dalam air untuk menciduknya lalu menuangkannya ke siku tangan kanannya hingga turun ke ujung jemarinya. Beliau mengulangi hal yang sama dengan tangan kanannya dan menuangkannya ke siku kirinya hingga ke ujung jemarinya. Lalu setelah itu, beliau megusap bagian depan kepalanya dan telapak kakinya dengan sisa air dari tangan kanan dan kirinya.” [Al-Hurr al-Aamili, Kitab Wasa’il al-Syiah, Jilid 1, Hal 272]

“Imam Muhammad al-Baqir as ketika ditanya tentang darimana perintah untuk mengusap kepala dan kedua kaki, maka beliau menjawab bahwa perintah tersebut tercantum dalam al-Qur’an: ‘basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki’.” [Al-Kulaini, Kitab al-Kafi, Jilid 3, Hal 30, Riwayat No 4]

“Imam Muhammad al-Baqir as ketika menerangkan wudhu Rasulullah SAW, mengatakan bahwa Rasulullah SAW mengusap kakinya sebagaimana al-Qur’an menjelaskan: ‘Usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki.’” [Al-Hurr al-Aamili, Kitab Wasail al-Syiah, Jilid 1, Hal 389, Riwayat No 1022]

5.3 Cara shalat syiah sama seperti para sahabat nabi SAW! [Kembali]
Pihak anti syiah selalu mengatakan bahwa cara sholat syiah adalah sesat karena tidak mencontoh dari yang diamalkan Rasulullah SAW, alias dibuat-buatnya sendiri, seperti ketika berdiri tangan tidak disedekapkan, tapi diluruskan, lalu pakai qunut sebelum rukuk, jidatnya ketika sujud harus menyentuh tanah, dan lain – lain. Benarkah itu semua sesat? mari kita bahas!

Shalat tidak bersedekap

Pada shalat syiah ketika berdiri tidak bersedekap, hal ini dianggap sesat oleh mereka yang sebenarnya miskin literasi, karena jika mau dipelajari, ternyata maka mazhab sunni Malikipun demikian. Imam Malik sholat tangannya tidak bersedekap alias diluruskan sebagaimana cara sholat syiah, hal ini karena beliau berhujjah dengan amalan penduduk Madinah yang kala itu mereka shalat tidak bersedekap. Menurutnya, amalan penduduk Madinah tersebut lebih layak diikuti karena mereka adalah ahli waris sunnah generasi masa Rasulullah SAW, sehingga kedudukannnya jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan keharusan bersedekap yang sebenarnya itu berasal hanya dari hadits ahad. Untuk perinciannya bisa dibaca di kitab Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik li Ma’rifah A’lam Madzhab Malik karya Qadhi ‘Iyadh. Hal inipun senada pada atsar salafush shalih:

10

(Screenshoot Kitab Tarikh Abi Zur’ah al-Dimasyqi, No 1785, Hal 319)

“…dari Bakr bin Amru bahwa ia tidak melihat Abu Umamah (yaitu Ibnu Sahl) meletakkan tangan yang satu di atas tangan yang lain (bersedekap) dan tidak pula ia melihat seorangpun dari penduduk Madinah yang melakukannya, sampai ia datang ke Syam maka ia melihat Al-Auza’i dan orang-orang melakukan sedekap.” [Abd al-Rahman bin Amru bin Abdallah bin Shafwan al-Nashri, Kitab Tarikh Abi Zur’ah al-Dimasyqi, No 1785, Hal 319, Tahqiq Khalil al-Manshur]

Tak hanya itu, bahkan ternyata dalam hadits referensi sunni sendiri Rasulullah SAW mencela shalat bersedekap:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو معاوية ثنا الأعمش عن مسيب بن رافع عن تميم بن طرفة عن جابر بن سمرة قال: خرج علينا رسول الله صلى الله عليه و سلم ذات يوم فقال ما لي أراكم رافعي أيديكم كأنها أذناب خيل شمس أسكنوا في الصلاة

“Jabir bin Samara berkata: ‘Rasulullah saw keluar mendekati kami dan berkata ’Kenapa kau melipat tanganmu (bersedekap) seperti tali kuda, kau harus menurunkannya dalam shalat’“ [musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 5, hal 93]

Bahkan tak ketinggalan, Aisyah istri nabi SAW juga mencelanya:

“Aisyah Ummul Mukminin berkata: ‘Ia membenci ketika seseorang shalat dengan tangan berlipat (sedekap) ketika shalat. Ini karena orang Yahudi juga berbuat begitu!’” [Imam Bukhari, Kitab Shahih Bukhari, Kitab ke 56, Jilid 4, No 664]

Shalat memakai Qunut sebelum rukuk

Kemudian cara sholat syiah memakai qunut sebelum rukuk, hal ini dianggap sesat juga oleh mereka yang sebenarnya malas belajar dan miskin literasi, padahal jika mau dipelajari, ternyata hal tersebut terdapat dalam riwayat – riwayat sunni sendiri yang diamalkan oleh Ahlulbait dan sahabat nabi SAW. Ini buktinya:

19

(Screenshoot Kitab Tahdzib al-Atsar, Jilid 5, Hal 361, No 622; Hal 362, No 624)

“Dengan sanad yang sampai kepada Asyyakh dari al-Asd bahwasanya mereka menyaksikan Ali radhiyallahu anhu melaksanakan shalat shubuh, lalu qunut sebelum ruku.” [Abu Ja’far Al-Thabari, Kitab Tahdzib al-Atsar, Jilid 5, Hal 361, No 622. Shohih]

“Dengan sanad yang sampai kepada Buraid bin Abi Maryam al-Saluli yang berkata: ‘Aku shalat shubuh bersama Anas bin Malik, lalu qunut sebelum ruku.’” [Abu Ja’far Al-Thabari, Kitab Tahdzib al-Atsar, Jilid 5, Hal 362, No 624. Shohih]

49

(Screenshoot Kitab al-Mushannaf, Juz 3, Hal 270, No 7099; Hal 242, No 7107)

“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Waki bin Jarrah, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Mukhariq dari Thariq bin Syihab bahwasanya ia shalat shubuh di belakang Umar bin Khaththab maka ketika Umar selesai membaca (surah) ia bertakbir lalu membaca Qunut, kemudian takbir kemudian ruku.” [Imam Ibn Abi Syaibah, Kitab al-Mushannaf, Juz 3, Hal 270, No 7099, Tahqiq Hamad bin Abdullah al-Jum’ah dan Muhammad bin Ibrahim al-Haidan, cet 1, KSA: Maktabah al-Rusyd, 1425 H/2004 M; Hal 242, No 7107, Tahqiq Abi Muhammad Usamah bin Ibrahim bin Muhammad, cet. 1, Kairo: al-Faruq al-Haditsiyyah, 1429 H/2008 M. Kedua-duanya Sanadnya Shahih]

20b

(Screenshoot Kitab al-Mushannaf, Juz 3, No 4973, Hal 113)

“Dengan sanad sampai kepada Abu Raja al-Utharidi yang berkata: ‘Kami shalat subuh bersama Ibn Abbas pada masa kepemimpinannya di Bashrah, ia melakukan qunut sebelum ruku.’” [Abi Bakr Abd al-Razaq bin Hammam al-Shan’ani, Kitab al-Mushannaf, Juz 3, No 4973, Hal 113, Tahqiq Habib al-Rahman al-A’zhami, cet 2, al-Maktaba al-Islami, Beirut 1403 H/1983 M. Sanadnya Shahih]

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَاصِمٌ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ الْقُنُوتِ فَقَالَ قَدْ كَانَ الْقُنُوتُ قُلْتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ قَالَ قَبْلَهُ قَالَ فَإِنَّ فُلَانًا أَخْبَرَنِي عَنْكَ أَنَّكَ قُلْتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَقَالَ كَذَبَ إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا أُرَاهُ كَانَ بَعَثَ قَوْمًا يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ زُهَاءَ سَبْعِينَ رَجُلًا إِلَى قَوْمٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ دُونَ أُولَئِكَ وَكَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ فَقَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ

“Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid bin Ziyad berkata, telah menceritakan kepada kami Ashim berkata: ‘Aku pernah bertanya (Anas bin Malik) tentang qunut.’ Maka dia menjawab: ‘Qunut itu benar adanya.’ Aku bertanya lagi: ‘pelaksanaannya sebelum atau sesudah rukuk?’ Dia menjawab: ‘Sebelum rukuk.’ Ashim berkata: ‘Ada orang yang mengabarkan kepadaku bahwa engkau mengatakan bahwa pelaksanaannya setelah rukuk?’ Anas bin Malik menjawab: ‘Orang itu dusta. Rasulullah SAW pernah melaksanakannya setelah rukuk selama satu bulan. Hal itu Beliau lakukan karena Beliau pernah mengutus sekelompok orang (ahli Al Qur’an) yang berjumlah sekitar 70 orang kepada Kaum Musyrikin selain mereka. Saat itu antara Rasulullah SAW dan kaum musyrikin ada perjanjian. Kemudian Rasulullah SAW melaksanakan doa qunut selama 1 bulan untuk berdoa atas mereka (karena telah membunuh para utusannya).’” [Shahih Bukhari, No. 947, Kitab Jum’at, Bab Membaca Do’a Qunut Sebelum atau Sesudah Rukuk; No. 3787, Kitab Peperangan, Bab Pertempuran Raji’, Ri’il, Dzakwan dan Bi`ru Maunah]

حدثنا ابن المثنى قال: حدثنا محمد قال: حدثنا شعبة، عن يزيد ابن أبي زياد قال: حدثنا أشياخ من الأسد: أنهم شهدوا عليا رضي الله عنه صلى الصبح فقنت قبل الركوع.

“Dengan sanad yang sampai kepada Asyyakh dari Al-Asd bahwasanya mereka menyaksikan Ali radhiyallahu anhu melaksanakan shalat shubuh, lalu qunut sebelum ruku.” [Abu Ja’far al-Thabari, Tahdzib al-Atsar, jilid 5, hal 361, no 622]

حدثنا حميد بن مسعدة السامي، قال: حدثنا شر بن المفضل، قال: حدثنا الجريري، عن بريد بن أبي مريم السلولي، قال: صليت مع أنس بن مالك صلاة الغداة فقنت قبل الركوع.

“Dengan sanad yang sampai kepada Buraid bin Abi Maryam Al-Saluli yang berkata: Aku shalat shubuh bersama Anas bin Malik, lalu qunut sebelum ruku.” [Abu Ja’far Al-Thabari, Tahdzib Al-Atsar, jilid 5, hal 362, no 624]

Jadi, Jika masih ada pihak yang bersikukuh menganggap syiah sesat karena dalam sholatnya melakukan qunut sebelum ruku, maka secara tidak langsung mereka juga telah menganggap sesat imam Ali bin Abi Thalib as, Ibnu Abbas, Umar bin Khaththab, Anas bin Malik, dan lain – lain!

Sujud shalat harus menyentuh bumi

Kemudian sujud dalam shalat syiah diwajibkan menyentuh tanah atau sesuatu apapun yang berasal dari bumi, dengan catatan itu tidak digunakan sebagai pakaian atau makanan, seperti misalnya pada batu, daun, kertas, kerikil, dan lain – lain. Hal ini juga tidak luput dianggap sesat, padahal dalam sumber referensi sunni sendiri, hal tersebut adalah positif dan disunnahkan. Misalnya saja:

عن أنس بن مالك قال: آنا نصلي مع رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم في شدة الحر فيأخذ أحدنا الحصباء في يده، فإذا بردت وضعها و سجد عليها

“Dari Anas bin Malik berkata: ‘Kami shalat bersama Rasulullah SAW di musim yang sangat panas, salah satu dari kami mengambil kerikil lalu diletakkan di tangannya, jika kerikilnya sudah dingin, kerikil itu diletakkan dan dipakai untuk sujud di atasnya.’” [Sunan Baihaqi, juz 2, hal 105; Nailul authar juz 2, hal 268]

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَأَنَا حِذَاءَهُ وَأَنَا حَائِضٌ وَرُبَّمَا أَصَابَنِي ثَوْبُهُ إِذَا سَجَدَ قَالَتْ وَكَانَ يُصَلِّي عَلَى الْخُمْرَةِ

“Pernah Rasulullah SAW shalat sementara aku berada di sampingnya, dan saat itu aku sedang haid. Dan setiapkali beliau sujud, pakaian beliau mengenai aku. Dan beliau shalat di atas khumroh (tikar yang terbuat dari daun pohon kurma sebesar wajah).” [HR Bukhari, No. 366, 368; Musnad Ahmad, juz 2, hal 92; juz 1, hal 269/309/29/358; Sunan Tirmidzi, juz 2, hal 151]

عن وائل قال: رأيت النبي صلى الله عليه واله وسلم إذا سجد و ضع جبهتة وأنفه على الارض

“Dari Wail berkata: ‘Aku melihat Nabi SAW apabila beliau sujud, beliau meletakkan dahi dan hidungnya di atas tanah.’” [Ahkamul Qur‘an lil Jash Shah, juz 3, hal 36; Musnad Ahmad Bin Hanbal, juz 4, hal 315]

Tak hanya itu, bukti dari Masruq bin al-Ajda’ (wafat 63 H) seorang ulama Sunni generasi tabi’in yang berguru langsung kepada para sahabat dan pernah memegang jabatan kehakiman di Kufah, selalu membawa lempengan/cetakan tanah jika sedang berpergian, tentunya untuk kepentingan sholat. Ini buktinya:

كان مسروق اذا خرج يخرج بلبنة يسجد عليها في السفينة

“Apabila Masruq sedang keluar, ia pergi dengan membawa labinah (lempengan/cetakan tanah) yang ia gunakan sujud di kapal” [Ibnu Sa’ad, Kitab al-Thabaqat al-Kubra, Jilid 8, Hal 201]

أن مسروقا اذا سافر حمل معه في السفينة لبنة يسجد عليها

“Apabila sedang berpergian, Masruq membawa labinah (lempengan/cetakan tanah) yang ia gunakan sujud di kapal” [Imam Ibn Abi Syaibah, Kitab al-Mushannaf, Jilid 4, Hal 443]

Ternyata sujud yang menyentuh bumi tidak hanya disunnahkan saja, bahkan bisa sampai taraf diwajibkan! Hal ini datang pada pernyataannya imam Syafi’i berikut:

ولو سجد على رأسه ولم يمس شيئا من جبهته الارض لم يجزه السجود وإن سجد على رأسه فماس شيئا من جبهته الارض أجزأه السجود إن شاء الله تعالى ولو سجد على جبهته ودونها ثوب أو غيره لم يجزه السجود إلا أن يكون جريحا فيكون ذلك عذرا ولو سجد عليها وعليها ثوب متخرق فماس شيئا من جبهته على الارض أجزأه ذلك لانه ساجد وشئ من جبهته على الارض وأحب أن يباشر راحتيه الارض في البرد والحر فإن لم يفعل وسترها من حر أو برد وسجد عليها فلا إعادة عليه ولا سجود سهو

“Apabila seseorang sujud dan dahinya tidak menyentuh bumi, maka sujudnya dianggap tidak sah. Tetapi jika sujud dan bagian dahinya menyentuh bumi, maka sujudnya dianggap cukup dan sah, Insya Allah. Dan bila ia sujud di atas dahinya dan padanya terdapat kain atau selainnya, maka belumlah dinyatakan sah sujudnya kecuali kerana terdapat luka, maka yang demikian itu sebagai udzur. Dan jika ia sujud di atas dahinya dan pada dahinya terdapat kain yang koyak sehingga menyentuh dahinya dengan bumi maka sah, hal itu kerana ia sujud dengan sebagian dahinya (menyentuh) bumi. Dan aku menyukai kedua telapak tangannya menyentuh langsung ke bumi. Jika tidak dan ia menutupi telapak tangannya dari hawa panas atau dingin lalu ia sujud diatasnya maka tidak perlu diulang solatnya atau tidak perlu sujud sahwi ” [Al-Umm, Imam Syafi’i, 1/114]

Sebagian pihak sunni menafsirkan pernyataan imam syafi’i diatas yang berkaitan dengan kain adalah peci/kopiah dan sorban. Jadi jika sedang bersujud tidak boleh dahi mereka terhalang oleh kain – kain tersebut karena akan menyebabkan sujudnya tidak menyentuh bumi, sehingga shalatnya menjadi batal. Namun anehnya, hal tersebut tidak berlaku untuk sajadah yang dijadikan sebagai alas sujud, padahal bukankah sajadahpun termasuk kain juga? Lantas dimana bedanya? Apakah jika dibalik misalnya peci dan sorban itu tidak dipakai dikepala, melainkan dijadikan sebagai alas sujud itu menjadi boleh, namun jika sajadah itu tidak dijadikan sebagai alas sujud, melainkan dikenakan dikepala sehingga terhalang oleh dahi, maka menjadi batal shalatnya? Ini kan jelas penafsiran yang tidak logis dan dipaksakan! Silahkan saja bagi yang mau bersujud menyentuh bumi ataupun tidak, mau menerima pernyataan imam Syafi’i tersebut ataupun tidak, itu haknya masing – masing orang, kita saling menghargai saja. Namun menjadi buruk jika kebenaran tersebut dibantah hanya karena tidak ingin cara ibadah shalatnya disamakan dengan syiah!

Membahas tentang tidak inginnya cara shalat pihak sunni disamakan dengan syiah, ternyata itu malah diamalkan oleh para sahabat dan khalifah, misalnya saja:

“Dari al-Khubabb bin al-Arat berkata: ‘Kami mengeluh kepada Rasulullah SAW karena sangat panasnya di dahi dan di telapak tangan kami (di waktu kami sujud) dan beliau tidak menanggapi keluhan kami.’” [Imam Baihaqi, Kitab Sunan Baihaqi, Juz 2, Hal 106]

 “Dari Abi Umayah berkata: ‘Bahwasannya Abu Bakar sujud atau shalat di atas tanah.’” [Imam al-Muttaqi al-Hindi, Kitab Kanzul Ummal, Juz 4, Hal 212]

 “Dari Ibnu Ubaidah berkata: ‘Sesungguhnya Ibnu Mas’ud tidak sujud kecuali di atas tanah.’” [Imam al-Haitsami, Kitab Majmaul Zawaid, Juz 2, Hal 57]

 “Ubadah bin ash-Shamit jika telah berdiri untuk shalat, dia mengangkat sorbannya dari dahinya (agar ketika sujud menyentuh tanah).” [Imam Baihaqi, Kitab Sunan Baihaqi, Juz 2, Hal105]

“Umar bin Abdul Azis, seorang dari Khalifah Bani Umayah ketika sujud tidak hanya dengan memakai tikar kecil selebar wajah, yang terbuat dari ranting pohon kurma, bahkan dia menaruh di atas tikar kecil itu tanah dan dia sujud di atasnya.” [Syarah al-Ahwadzi juz 1 hal. 272, Fathul Bari juz 1 hal 410]

Bukti – bukti diatas yang kesemuanya dari riwayat – riwayat ahlusunnah sendiri ternyata telah menegaskan bahwa sujud diatas tanah atau sesuatu apapun yang berasal dari bumi adalah wajib!

“Dijadikannya tanah bagiku sebagai tempat sujud dan suci.” [Imam Bukhari, Kitab Shahih Bukhari, Juz 1, Hal 91; Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim, Juz 1, Hal 371; Imam at-Tirmidzi, Kitab Shahih Tirmidzi, Juz 2, Hal 131; Imam an-Nasa’i, Kitab Shahih an-Nasa’i, Juz 1, Hal 210]

“Bahwasanya Rasulullah SAW melihat seseorang sujud di atas sorbannya, maka beliau memberi isyarat dengan tangannya: ‘Angkatlah sorbanmu dan memberi isyarat ke dahinya, sujudlah dengan dahimu!’” [Imam Baihaqi, Kitab Sunan Baihaqi, Juz 2, Hal 105; Ibnu Hajar al-Asqalani, Kitab Ishabah, Juz 2, Hal 201]

Lalu ini penjelasan dari para imam ahlulbait dari sumber syiah sebagai pelengkap:

“Berkata Imam Ja’far Shadiq as: ‘Janganlah kamu sujud kecuali di atas tanah atau apa – apa yang tumbuh dari tanah!’” [Biharul Anwar, Juz 85, Hal 149; al-Kafi, Juz 3, Hal 330]

“Seseorang bertanya tentang sujud di atas sorban, sedangkan dahinya tidak menyentuh tanah, maka imam Ja’far Shadiq as menjawab: ‘Tidak boleh sehingga sampai mengena dahinya ke tanah!’.. ‘Sujud di atas tanah adalah suatu kewajiban!’” [Wasail Syiah, Juz 3, Hal 609]

 “Hisyam bin Hakam bertanya kepada Imam Shadiq as: ‘Beritahu aku wahai putra Rasulullah, tentang apa – apa yang boleh sujud di atasnya dan apa – apa yang tidak boleh?’, imam as menjawab: ‘Boleh sujud di atas tanah atau apa – apa yang tumbuh dari tanah, kecuali yang dapat dimakan atau yang dapat dipakai.’” [Wasail Syiah, Juz 3, Hal 591]

Penggabungan shalat menjadi 3 waktu

Begitupun dengan shalatnya syiah dapat dilakukan secara jamak dalam 3 waktu saja tanpa adanya rukhshah dan udzur syar’i karena adanya waktu musytarak (penggabungan) yang mana ini juga ada sumbernya dari hadits sunni:

وحدثني أبو الربيع الزهراني حدثنا حماد عن الزبير بن الخريت عن عبدالله بن شقيق قال خطبنا ابن عباس يوما بعد العصر حتى غربت الشمس وبدت النجوم وجعل الناس يقولون الصلاة الصلاة قال فجاءه رجل من بني تميم لا يفتر ولا ينثني الصلاة الصلاة فقال ابن عباس أتعلمني بالسنة ؟ لا أم لك ثم قال رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم جمع بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء قال عبدالله بن شقيق فحاك في صدري من ذلك شيء فأتيت أبا هريرة فسألته فصدق مقالته

“Telah menceritakan kepada kami Abu Rabii’ Az Zahraaniy, telah menceritakan kepada kami Hammaad dari Zubair bin Khirriit dari ‘Abdullah bin Syaqiiq yang berkata: “Ibnu ‘Abbas berkhutbah kepada kami pada suatu hari setelah Ashar sampai terbenamnya matahari dan nampak bintang-bintang maka orang – orang pun mulai menyerukan “shalat shalat”. Kemudian datang seorang dari Bani Tamim yang tidak henti-hentinya menyerukan “shalat shalat”. Maka Ibnu ‘Abbas berkata “engkau ingin mengajariku Sunnah? Celakalah engkau, kemudian Ibnu ‘Abbas berkata “aku telah melihat Rasulullah SAW menjama’ shalat Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. ‘Abdullah bin Syaqiiq berkata “dalam hatiku muncul sesuatu yang mengganjal, maka aku mendatangi Abu Hurairah dan bertanya kepadanya, maka ia membenarkan ucapannya” [Shahih Muslim, 1/490, No. 705]

حدثنا موسى بن هارون ثنا داود بن عمرو الضبي ثنا محمد بن مسلم الطائفي عن عمرو بن دينار عن جابر بن زيد عن ابن عباس قال : صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم ثمان ركعات جميعا وسبع ركعات جميعا من غير مرض ولا علة

“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Harun yang darinya berkata Dawud bin ‘Amru adh-Dhabiy yang darinya berkata Muhammad bin Muslim ath-Tha’ifiy dari Amru bin Dinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW shalat delapan rakaat sekaligus dan tujuh raka’at sekaligus bukan karena sakit dan tanpa sebab tertentu (udzur).” [Mu’jam al-Kabir, 12/177, No. 12807]

و حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ وَعَوْنُ بْنُ سَلَّامٍ جَمِيعًا عَنْ زُهَيْرٍ قَالَ ابْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ فَسَأَلْتُ سَعِيدًا لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ

“Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus dan Aun bin Salam semuanya dari Zuhair. Ibnu Yunus mengatakan; telah menceritakan kepada kami Zuhair telah menceritakan kepada kami Abu Zubair dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas katanya; ‘Rasulullah SAW pernah shalat Zhuhur dan Ashar sekaligus di Madinah bukan karena takut dan bukan pula karena safar.’ Abu Zubair mengatakan; ‘Aku bertanya kepada Sa’id; ‘Mengapa beliau melakukan hal itu?’ Dia menjawab; ‘Aku bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana kamu bertanya kepadaku, lalu dia menjawab; ‘Beliau ingin supaya tidak merepotkan (memberatkan) seorangpun dari umatnya” [Shahih Muslim, No 1147 (1/489 No 705); Musnad Ahmad, jilid 3, No 2557 – dinyatakan shahih]

Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Abbas pada hadits shahih muslim diatas, apakah menurut anda berkhutbah termasuk pada perkara darurat sehingga tidak dapat diberhentikan sejenak? Tidak, justru begitu mudah! Jadi jika anda menganggap bahwa shalat jamak yang dilakukan oleh syiah tersebut telah mempermainkan syari’at atau karena lalai, maka beranikah anda juga menuduh Ibnu Abbas dan yang lainnya juga telah berlaku demikian? Maka bersikap adillah!

Begitupun dinyatakan dalam al-Qur’an bahwa waktu shalat hanya 3 waktu saja:

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ

“Dirikanlah shalat itu dari ketika matahari tergelincir (Dzuhur & Ashar), lalu digelap malam (Maghrib & Isya) dan di waktu subuh…” [QS. al-Israa, ayat 78]

Shalat tarawih berjama’ah adalah bid’ah yang dibuat Umar

Di bulan Ramadhan selain diwajibkan berpuasa bagi umat islam, juga dianjurkan untuk memperbanyak amalan sunnah. Salah satu amalan sunnah yang dilakukan pihak ahlussunnah di bulan Ramadhan adalah shalat tarawih/nafilah yang dilakukan secara berjama’ah di masjid. Namun demikian ada fakta menarik untuk kita soroti bersama bahwa di dalam beberapa kitab rujukan ahlussunnah sendiri, justru shalat berjama’ah tersebut tidak ada di zaman Nabi SAW, karena shalat sunnah yang dilakukan Nabi SAW di malam – malam bulan Ramadhan selalu dilakukan secara munfarid. Berikut ini beberapa buktinya:

33a

(Screenshoot Kitab Shahih Bukhari, Juz 2, Hal 60, Hadits No 2009 dan 2010)

“Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam wafat dan situasinya sama (melaksanakan shalat tarawih tidak berjamaah), begitu pula di zaman Khalifah Abu Bakar dan awal mula Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhuma.” [Imam Bukhari, Kitab Shahih Bukhari, Juz 2, Hal 60, Hadits No 2009, Terbitan Maktabah as-Salafiyah, Kairo]

Lalu kenapa akhirnya bisa dilakukan secara berjama’ah? Ini semua karena perintah dari Umar! Umar ketika itu melihat orang – orang shalat secara munfarid.

“Pada salah satu malam di bulan Ramadhan, aku berjalan bersama Umar (bin Khattab). Kami melihat orang-orang nampak sendiri-sendiri dan berpencar-pencar. Mereka melakukan shalat ada yang sendiri-sendiri (berpencar) ataupun dengan kelompoknya masing-masing (berkumpul tapi tetap sholat secara munfarid). Lantas Umar berkata: ‘Menurutku alangkah baiknya jika mereka mengikuti satu imam (sholat secara berjamaah)’. Lantas ia memerintahkan agar orang-orang itu melakukan shalat dibelakang Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya kami kembali datang ke masjid. Kami melihat orang-orang melakukan shalat sunnah malam Ramadhan (tarawih) dengan berjama’ah. Melihat hal itu lantas Umar mengatakan: ‘Inilah sebaik-baik bid’ah!’”  [Imam Bukhari, Kitab Shahih Bukhari, Jilid 2, Hal 252; Juz 2, Hal 60, Hadits No 2010, Terbitan Maktabah as-Salafiyah – Kairo; Imam Malik, Kitab al-Muwaththo, Hal 73]

31

(Screenshoot Kitab al-Mashabih fi Shalah at-Tarawih, Hal 22-23)

“Ketiga: Sesungguhnya telah ditetapkan di dalam Shahih Bukhari dari Umar, bahwa ia berkata terkait salat tarawih: ‘Alangkah ini (salat tarawih) adalah bid’ah yang baik. Namun orang-orang yang tidur dan tidak melaksanakan tarawih, itu lebih baik.’ Lalu Umar menamakan salat tarawih sebagai bid’ah, yaitu bid’ah yang baik. Dan hal ini, secara jelas, bahwa salat tarawih tidak ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam.” [Jalaluddin as-Suyuthi, Kitab al-Mashabih fi Shalah at-Tarawih, Hal 22-23, Terbitan: Daru Ammar]

32c

(Screenshoot Kitab al-Awa’il, Hal 152)

“(Umar) adalah orang pertama yang menegakkan shalat nafilah bulan Ramadhan secara berjamaah pada tahun 14 Hijriah.” [Abu Hilal al-Askari, Kitab al-Awa’il, Hal 152, Tahqiq Muhammad Sayyidul Wakil, Terbitan Darul Basyir li ats-Tsaqafah wa al-‘Ulum al-Islamiyah]

32b

(Screenshoot Kitab Ansab al-Asyraf, Hal 4406)

“Umar adalah orang pertama yang menegakkan shalat nafilah (secara berjamaah) pada bulan Ramadhan. Ia mengumpulkan orang-orang untuk itu kemudian memerintahkan hal itu ke kota-kota lainnya. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 14 Hijriah.” [Ahmad bin Yahya bin Jabir al-Baladzuri, Kitab Ansab al-Asyraf, Hal 4406, Tahqiq Suhail Zakkar, Juz 10, Terbitan Darul Fikr Beirut Libanon]

39

(Screenshoot Kitab Tarikh al-Thabari, Jilid 4, Hal 209)

“(Umar bin khaththab) adalah orang pertama yang menetapkan contoh shalat malam Ramadhan, yaitu Tarawih, dan mengumpulkan orang-orang untuk itu (secara berjama’ah), dan menginstruksikan berbagai wilayah yang berbeda mengenai hal itu. Ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 14 H. Dia menunjuk para pembaca al-Quran yang memimpin sholat Tarawih untuk pria dan wanita. [Imam ath-Thabari, Kitab Tarikh al-Thabari, Jilid 4, Hal 209]

32a

(Screenshoot Kitab Ath-Thabaqat al-Kubra, Juz 3, Hal 213)

“Dia (Umar bin Khattab) adalah orang pertama yang menegakkan nafilah pada bulan Ramadhan (secara berjamaah) dan mengumpulkan masyarakat untuk melaksanakannya serta menuliskan ke seluruh kota agar melakukan hal ini. Perkara ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 14 Hijriah. Dua imam telah ditetapkan di Madinah, satu untuk laki-laki dan satu untuk perempuan.” [Muhammad bin Sa’ad bin Mani’ al-Hasyimi al-Bashri, Kitab Ath-Thabaqat al-Kubra, Juz 3, Hal 213, Tahqiq Muhammad Abdul Qadir Atha, Terbitan Darul Kutub al-Ilmiyah Beirut, Libanon]

5.4 Waktu berbuka puasa syiah lebih sesuai al-Qur’an dan sahabat! [Kembali]

Puasa adalah ibadah yang menahan diri dari makan, minum dan berjima seharian dari sebelum waktu shubuh sampai waktu maghrib tiba. Ada perbedaan dalam waktu berbuka puasa diantara sunni/ahlussunnah dan syiah, dimana jika di sunni berbuka puasa setelah tenggelamnya matahari, sedangkan di syiah setelah langit gelap atau awal datangnya malam. Hal ini karena sesuai dengan perintah al-Qur’an yang mewajibkan puasa sampai dengan malam berdasarkan firman-Nya:

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“..Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam”. [QS al-Baqarah, 187]

Adapun selisih waktu antara adzan maghrib berbuka puasanya syiah dengan sunni hanya berbeda lebih mundur sekitar 15-25 menit saja. Lihatlah ketika adzan maghrib sunni berkumandang, langit masih nampak terang walaupun matahari sudah terlihat teggelam. Berbeda halnya ketika melewati 15-25 menit kemudian, langit sudah gelap, pertanda bahwa waktu awal datangnya malam sudah tiba.

Setelah jelas dalam al-Qur’an diperintahkan berbuka puasa setelah malam tiba, tapi ada saja tafsiran dari pihak sunni/ahlussunnah bahwa yang dimaksud awal datangnya malam adalah ketika matahari tenggelam, padahal sangat jelas ciri – ciri malam tiba adalah gelapnya langit, sedangkan matahari ketika tenggelam, langit masih belum gelap. Belum lagi dalam riwayat – riwayat Abu Hurairah yang menentang berbuka puasa setelah datangnya malam, maka pikirkanlah, yang mana lebih utama, al-Qur’an atau hadits? Jika benar al-Qur’an yang utama, maka jika ada hadits yang bertentangan dengan al-Qur’an walaupun itu shahih, itu harus dibuang, bukan malah sebaliknya, tapi inilah fakta yang dilakukan pihak sunni!

Tak hanya dalam al-Qur’an, ada juga dalam riwayat sunni, dimana ternyata berbuka puasa di malam hari juga dilakukan oleh para sahabat nabi SAW.

95x

(Screenshoot Kitab al-Muwattha, Jilid 1, Hal 289)

“Dari Humaid bin Abdurrahman: ‘Sesungguhnya Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan melaksanakan shalat maghrib ketika melihat malam sudah gelap, sebelum berbuka. Kemudian keduanya berbuka setelah shalat, dan itu (mereka lakukan) pada bulan Ramadhan.’” [Imam Malik bin Anas, Kitab al-Muwattha, Jilid 1, Hal 289, Terbitan Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi]

Lihatlah ternyata para sahabat besar nabi SAW yang sangat dimuliakan oleh pihak sunni yakni Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan, mereka berbuka puasa setelah malam tiba sebagaimana di syiah, maka dengan ini pikirkanlah baik – baik, apakah pihak sunni dengan berbuka sebelum malam tiba itu merasa lebih alim dari mereka? Tak hanya itu, bahkan Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan berbukanya setelah shalat maghrib, dimana itu sama persis dengan yang dilakukan oleh pihak syiah, kami berkeyakinan bahwa berbuka puasa setelah shalat itu lebih afdhal, karena hal tersebut dalam kitab syiah pahala yang didapat lebih besar seakan telah menjalani puasa sampai akhir malam. Berbeda dengan sunni, dimana dahulu saya pernah mendengar bahwa ketika adzan maghrib berkumandang, harus langsung berbuka, tidak boleh shalat maghrib dulu sebelum berbuka.

Kita diberi akal oleh Allah untuk berpikir, terlebih soal islam ini, maka gunakanlah akalmu untuk berpihak kepada yang benar, bukan sekedar taqlid buta, agar kita menjadi orang – orang yang menang di akhirat kelak. Saya memohon maaf jika tulisan saya ini dinilai kurang berkenan.